KPK: Novel Baswedan Korban Penyiraman Air Keras Saat Menangani Kasus Korupsi Besar
Penyidik KPK Novel Baswedan (Rizky Adytia Pramana/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, kasus penyiraman air keras terhadap penyidiknya, Novel Baswedan menguji keadilan dan nurani para penegak hukum. 

Hal ini disampaikan menanggapi tuntutan satu tahun penjara kepada terdakwa kasus ini, Ronny Bugis. 

"Kasus Novel Baswedan merupakan ujian bagi rasa keadilan dan nurani kita sebagai penegak hukum. Karena secara nyata ada penegak hukum, pegawai KPK yang menjadi korban ketika dia sedang menangani kasus korupsi besar saat itu," kata Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri melalui keterangan tertulisnya, Jumat, 12 Juni.

Lembaga antirasuah ini juga mendengar banyak pihak menyayangkan tuntutan jaksa yang kurang maksimal. Ali mengatakan, pihaknya juga memahami alasan kekecewaan Novel sebagai korban saat mendengar tuntutan tersebut.

Sehingga, dia berharap, majelis hakim bisa memberikan vonis yang setimpal dengan tindakan terdakwa yang menyiramkan air keras kepada penyidiknya itu. 

"KPK berharap majelis hakim akan memutus dengan seadil-adilnya dengan menjatuhkan hukuman maksimal sesuai dengan kesalahan dan perbuatan yang terbukti nantinya, serta mempertimbangkan rasa keadilan publik, termasuk posisi Novel Baswedan sebagai korban saat menjalankan tugasnya menangani kasus korupsi," ungkapnya.

Ali mengatakan, kasus penyiraman air keras terhadap penyidiknya diharapkan bisa membuka mata bagi semua pihak soal perlindungan penegak hukum saat menjalankan tugasnya.

"Kami menyerukan kembali pentingnya perlindungan bagi para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya," tegas dia.

Tuntutan setahun yang berdampak pada pemberantasan korupsi ke depan

Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap juga angkat bicara soal tuntutan rendah terhadap Ronny Bugis. Tuntutan tersebut menimbulkan kekecewaan di tengah masyarakat. 

Karena tuntutan rendah itu, dia jadi mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo dalam mendukung pemberantasan korupsi. 

Alasannya, proses penyelesaian kasus ini berjalan lamban dan tak memberikan keadilan bagi korbannya, "Dan menunjukkan lemahnya dukungan terhadap pemberantasan korupsi," ungkap Yudi.

Tuntutan ini, sambung Yudi, juga memiliki dampak bagi pemberantasan korupsi ke depan. Pertama, kasus ini berdampak pada tidak terlindunginya kerja pemberantasan korupsi. 

Mengingat serangan terhadap Novel Baswedan tak bisa dianggap penyerangan individu. Apalagi Tim Pemantau Kasus Novel Baswedan yang dibentuk Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) secara tegas menyatakan, penyerangan itu terjadi karena pekerjaan Novel. 

"Untuk itu, tuntutan rendah ini akan membuat peneror yang bermaksud mengganggu pemberantasan korupsi tidak merasakan rasa takut untuk menduplikasi atau mengulangi perbuatan teror terhadap pegawai bahkan pimpinan KPK," kata dia.

Selanjutnya, tuntutan ini berdampak pada tidak terpenuhinya jaminan perlindungan hak asasi manusia dan mengabaikan hasil temuan institusi resmi negara. Terlebih, pada proses penegakan hukum, laporan Komnas HAM tidak ditampilkan secara utuh dalam proses pembuktian persidangan.

Terakhir, kasus ini berdampak pada tidak adanya pertanggungjawaban dari pelaku intelektual. Apalagi berdasarkan laporan Komnas HAM, serangan ini adalah tindakan yang direncanakan dan sistematis dengan melibatkan pihak yang tidak terungkap.

"Tindakan diduga melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai perencana, pengintai, dan pelaku kekerasan. Persidangan yang tidak membuka arah serangan sistematis dan rendahnya hukuman berpotensi membuat pelaku intelektual tidak dimintakan pertanggungjawabannya," ujarnya.

Sehingga, atas dampak yang ada, Wadah Pegawai KPK meminta agar majelis hakim tidak mengabaikan fakta yang ada dalam kasus penyerangan tersebut. Termasuk surat yang dikirimkan Novel atas peristiwa itu.

Yudi juga meminta Presiden membentuk tim independen dan memerintahkan pemeriksaan komperhensif atas dugaan tidak berjalannya proses penegakan hukum sesuai prosedur. Termasuk untuk mencari pelaku intelektual dalam penyerangan tersebut.

Sebelumnya, Terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dalam kasus penyerangan air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dituntut satu tahun penjara. Jaksa menilai terdakwa, Ronny terbukti melakukan penganiayaan terhadap Novel.

Dalam sidang tuntutan, jaksa meyakini Ronny bersalah melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Jaksa menilai ada beberapa hal yang memberatkan Ronny. Dia dinilai mencederai institusi Polri. Sedangkan, hal yang meringankan dia dianggap berlaku sopan selama persidangan dan mengabdi di institusi Polri.

Dalam pertimbangannya, jaksa mengatakan, terdakwa Ronny dan Rahmat terbukti melakukan penganiayaan berat dengan terencana. Karena sebelum melakukan aksinya, kedua terdakwa terbukti melakukan pemantauan di rumah Novel.

"Bahwa benar saksi (Rahmat) dan terdakwa di pinggir kali 10 hingga 15 menit sambil memandang rumah Novel dan saksi melihat Novel berjalan ke masjid dan tak lama ada ibu-ibu berjalan keluar gang," kata jaksa saat membacakan surat tuntutan di PN Jakarta Utara, Kamis, 11 Juni.

"Kemudian saksi Rahmat Kadir menjalankan motornya dan menghampiri Novel ketika itu saksi berjalan dan menyiramkan cairan asam sulfat ke badan korban, dan korban terjatuh," imbuhnya.