JAKARTA - Butuh 989 hari sejak 11 April 2017 bagi pihak kepolisian sebelum mereka mengumumkan telah melakukan penangkapan terhadap dua pelaku kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang merupakan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dua pelaku ini adalah RM dan RB yang merupakan anggota kepolisian aktif. Belum diketahui alasan pasti keduanya menyerang Novel yang saat itu sedang pulang salat subuh dari masjid dekat rumahnya di Kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Tapi apakah benar, hanya mereka berdua saja yang terlibat tanpa aktor intelektual?
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dan tim advokasi Novel Baswedan sepertinya belum yakin akan hal tersebut. Secara tegas, mereka meminta agar pihak kepolisian terus melakukan pengusutan kasus ini walaupun sudah menangkap dua pelaku pada Jumat, 27 Desember kemarin. Tujuannya, agar kasus ini semakin terang.
Apalagi, dari hasil tim gabungan pencari fakta (TGPF) bentukan Polri, disebutkan penyerangan ini dilakukan karena berkaitan dengan pekerjaan Novel sebagai penyidik senior di KPK. Bukan seperti apa yang disampaikan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane yang mengatakan penyiraman ini didasari motif dendam pribadi si pelaku.
"Kepolisian harus segera mengungkap jenderal dan aktor intelektual lain yang terlibat dalam kasus penyiraman dan tidak berhenti pada pelaku lapangan," kata Kurnia lewat keterangan tertulis yang diterima VOI, Sabtu, 28 Desember.
Menurut Kurnia, KPK menangani kasus-kasus besar sesuai dengan UU KPK. Sehingga, tidak mungkin pelaku hanya berhenti di dua orang ini.
Ia menambahkan, dua orang yang saat ini telah ditangkap harus diselediki apakah terkait dengan kasus yang ditangani Novel ataupun KPK. Apalagi, ketika mengalami penyiraman tersebut, Novel tengah menjabat sebagai Kepala Satuan Tugas kasus mega korupsi e-KTP yang menyeret sejumlah nama politisi besar di Senayan.
Selain kasus e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun, kala itu Novel juga tengah mengusut beberapa kasus seperti kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, kasus Mantan Sekretaris Jenderal MA Nurhadi, kasus korupsi mantan Bupati Buol yaitu Amran Batalipu, dan kasus korupsi Wisma Atlet.
Tak hanya itu, diketahui saat itu Novel dan tim tengah melakukan penyidikan terhadap buku merah atau buku catatan transaksi keuangan CV Sumber Laut Perkasa milik Basuki Hariman. Buku ini menjadi salah satu bukti dalam kasus korupsi yang menjerat pengusaha daging dan anak buahnya, Ng Fenny dalam kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar.
Dalam buku ini, juga tercatat adanya aliran uang ke perwira polri sebelum akhirnya terjadi perusakan yang dugaannya juga dilakukan oleh penyidik KPK yang berasal dari institusi polisi.
Kembali ke soal Jenderal Polisi, sebagai korban, Novel memang kerap mengatakan ada orang besar di balik kasusnya. Dikutip dari Tempo.co, Novel berkisah ada dua penyidik kepolisian yang datang ke kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara tak lama setelah ia kembali dari Singapura pada 22 Februari 2017.
Niat mereka, kata Novel, akan menggali keterangan darinya terkait peristiswa penyiraman air keras tersebut. Hanya saja, rencana itu batal karena pemeriksaan justru menanyakan keterlibatan jenderal di balik kasusnya.
Tak hanya itu, penyidik senior KPK ini juga mengaku telah mengumpulkan semua informasi yang menguatkan dugaan keterlibatan seorang Jenderal Polisi dalam upaya pengaburan barang bukti kasus penyiraman air keras terhadap dirinya.
Menurutnya, perwira tinggi ini masih aktif di Mabes Polri dan disinyalir punya peran dalam serangkaian teror terhadap penyidik KPK lannya selama beberapa tahun belakangan.
"Bukti ini ada. Bukan bohongan. Saya siap memberikan semuanya, sekali lagi, semuanya, kepada tim pencari fakta seandainya nanti terbentuk," kata Novel pada 2 Agustus 2017 lalu.
Permintaan pengusutan kasus ini agar menjadi terang, termasuk siapa pelaku intelektualnya juga disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry. Lewat keterangan tertulisnya, dia menyebut Komisi III DPR RI bakal menggelar rapat dengan Kapolri di masa sidang mendatang. Tujuannya, agar DPR bisa megawal penyelidikan kasus ini.
"Saya akan mengusulkan kepada rekan-rekan di Komisi III DPR RI untuk menggelar rapat dengan Kapolri pada masa sidang berikutnya. Hal ini guna menggali informasi lengkap dan menyeluruh dari kepolisian serta mengawal agar penyelidikan kasus ini bisa dilakukan setuntas-tuntasnya," kata Herman, Sabtu, 28 Desember.
Secara tegas, anggota DPR dari Fraksi PDIP ini mengatakan proses hukum memanglah ranah kepolisian. Namun dia mengingatkan, agar aparat kepolisian bisa bertindak secara profesional. Herman juga meminta agar KPK dan pihak kepolisian tetap solid ke depan dalam melakukan pemberantasan korupsi.
"Terlepas dari profil terduga pelaku penyerangan Novel Baswedan yang merupakan anggota Polri aktif, saya berharap koordinasi aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi tidak terganggu," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, Novel diserang pada 11 April 2017 saat berjalan menuju kediamannya, setelah menunaikan ibadah shalat Subuh di Masjid Al Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Akibat penyiraman air keras ini, kedua mata Novel terluka parah. Dia sempat menjalani operasi mata di Singapura.
Setelah penyerangan, berbagai upaya telah dilakukan untuk menangkap sang pelaku penyiraman. Hanya saja, saat itu polisi mengaku kesulitan menangkap pelaku atau dalang penyerangan terhadap Novel Baswedan. Polri bahkan sempat membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengungkap pelaku penyiraman air keras tersebut.
Tak hanya itu, mereka juga sempat membuka hotline agar masyarakat yang tahu soal penyerangan tersebut bisa melaporkan pada pihak kepolisian. Selain itu, pihak kepolisian juga sempat menyebarkan sketsa wajah pelaku terduga penyerangan Novel Baswedan.