JAKARTA - Tuntutan yang diajukan oleh jaksa terhadap Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette yang merupakan penganiaya penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menimbulkan polemik. Sejumlah pihak memberikan perhatiannya atas tuntutan rendah tersebut.
Pada Minggu, 14 Juni, Novel menerima kunjungan sejumlah pihak di kediamannya di kawasaan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mereka yang hadir salah satunya adalah pengamat hukum tata negara, Refly Harun. Bekas petinggi perusahaan BUMN ini mengatakan, pertemuan ini bertujuan memberikan dukungan terkait proses persidangan yang berpolemik ini.
"Saya datang mewakili pribadi, karena diundang, ya, saya datang. Tujuannya memang untuk menunjukkan concern ya. Karena ini masalah, menurut saya, masalah hukum yang penting. Karena sebagai orang hukum, saya ingin tahu duduk persoalannya," kata Refly kepada wartawan di Jakarta, Minggu, 14 Juni.
Dalam pertemuan tersebut, Refly bertanya pada Novel, apakah Novel meyakini dua orang tersebut adalah penyiram air keras ke wajahnya. Novel menjawab, dia ragu kebenaran fakta tersebut.
"Saya tanya, 'yakin enggak bahwa yang terdakwa itu pelaku sesungguhnya?' Novel sendiri mengatakan tidak yakin," ungkapnya.
"Nah, kalau menurut saya, kalau memang mereka bukan pelaku yang sesungguhnya, saya bilang, ya mestinya mereka dibebaskan dari segala tuntutan," imbuhnya.
Dia berharap, hakim harus bisa memberikan vonis terbaik sesuai dengan tindakan kedua terdakwa.
"Jangan sampai kemudian hakim menjadi pahlawan yang enggak benar. Masyarakat menganggap misalnya, minta hukuman lebih. Dihukumlah lebih dari tuntutan, entah empat tahun, entah tiga tahun. Atau misalnya maksimal," tegas Refly.
Kalaupun keduanya bukan pelaku tindakan penganiayaan tersebut, maka Ronny dan Rahmat bisa kembali dihukum dengan delik memberikan keterangan palsu dan menghalangi proses hukum.
"Mereka (Ronny dan Rahmat) kalau memang secara sengaja melakukan penyesatan begitu, berarti kan mereka melakukan tindak pidana yang lain, ya, menghalangi proses peradilan termasuk membohongi dan lainnya," jelas dia.
Harapan terakhir ada di palu majelis hakim
Peneliti Pukat UGM Agung Nugroho mengatakan, ketukan palu majelis hakim menjadi saat yang paling ditunggu dalam persidangan ini. Sebab, hakim kini menjadi harapan terakhir bagi Novel Baswedan untuk memperoleh keadilan terhadap penganiayaan yang mengakibatkan kerusakan di kedua matanya.
"Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan berat ringannya hukuman. Termasuk menjatuhkan hukuman pidana melebihi tuntutan jaksa sepanjang untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat," kata Agung dalam keterangan tertulisnya.
Dia menilai, majelis hakim dalam persidangan itu harus mampu melihat kasus penganiayaan ini secara keseluruhan dan objektif.
BACA JUGA:
Apalagi, dalam proses sidang begitu banyak kejanggalan. Sehingga, rasanya kurang tepat menjadikan tuntutan sebagai satu-satunya rujukan dalam pengambilan keputusan.
Kejanggalan yang dimaksud, di antaranya ketika jaksa penuntut umum menilai tak ada niat bagi pelaku untuk melukai Novel. Alasannya, Ronny dan Rahmat sebenarnya ingin menyiram air panas ke tubuh Novel namun tak sengaja mengenai wajah.
"Pernyataan JPU yang mengatakan bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru," ungkap Agung.
Dia mengatakan, terdakwa sebenarnya sudah memenuhi unsur perencanaan saat melakukan aksi penyerangan terhadap penyidik KPK tersebut.
Sebab, ada tiga unsur perencanaan yang dipenuhi seperti memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedianya waktu yang cukup sejak timbul kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan pelaksanaan kehendak dalam waktu tenang.
"Terbukti dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah dipersiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman," tegasnya.
Kejanggalan selanjutnya adalah berkaitan dengan pasal yang dikenakan terhadap dua terdakwa. Menurutnya, harusnya jaksa penuntut mengarahkan tindakan terdakwa pada pasal penganiayaan berat seperti di dalam Pasal 355 Ayat (1) KUHP bukannya malah menggunakan Pasal 353 Ayat (2) KUHP.
Jaksa penutut, sambung Agung, juga menunjukkan kejanggalan lain dengan lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa. Agung mengatakan, jaksa harusnya bertugas membuktikan kebenaran materil dan keadilan.
"Padahal terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar. Selain itu, Jaksa justru mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras yang digunakan oleh terdakwa maupun rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh Tim Pencari Fakta maupun Komnas HAM," jelasnya.
Kemudian, kejanggalan lainnya adalah tuntutan dianggap tak logis sehingga mencederai keadilan. Jaksa, kata dia, harusnya memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun dalam pasal yang termuat dalam dakwaan subsider. "Namun, alih-alih mengambil pilihan itu, jaksa justru menuntut hukuman satu tahun penjara," tegasnya.
Kejanggalan terakhir adalah pengadilan tak mampu mengungkap aktor intelektual maupun motif di balik penganiayaan tersebut. Dia menilai, motif ketidaksukaan seperti yang dilontarkan para terdakwa ada motif yang tidak kuat.
Sebelumnya, dua terdakwa penyiram air keras terhadap Novel Baswedan yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dituntut setahun penjara. Jaksa menilai keduanya terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibat luka berat.
Dalam persidangan tersebut, Rahmat dianggap terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan dan mengakibatkan luka berat pada Novel dengan menggunakan cairan asam sulfat yang disiramkan.
Sedangkan Ronny dituntut karena dianggap terlibat dalam penganiayaan tersebut karena membantu Rahmat.
Jaksa menilai kedua terdakwa tidak memenuhi unsur dakwaan primer mengenai penganiayaan berat dari Pasal 355 Ayat 1 KUHP jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sebab, cairan yang disiramkan Rahmat tak sengaja mengenai mata Novel. "Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan," kata jaksa saat membacakan tuntutannya pada Kamis, 11 Juni yang lalu.
"Tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi," sambungnya.
Atas perbuatannya, Rahmat dan Ronny kemudian dinilai melanggar Pasal 353 Ayat 2 KUHP Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.