JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tak larut dalam keberhasilan mengekstradisi tersangka pembobol Bank BNI, Maria Lumowa yang jadi buronan selama 17 tahun. Apalagi saat ini banyak yang harus dikerjakan Kemenkumham untuk memburu buronan.
"ICW meminta agar Kemenkumham tidak larut dalam glorifikasi atas keberhasilan mengekstradisi tersangka Maria Pauline Lumowa. Sebab, beberapa waktu lalu potret penegakan hukum terkait dengan otoritas imigrasi banyak menuai persoalan," kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Minggu, 12 Juni.
Dia mencontohkan pihak Ditjen Imigrasi telah dua kali kebobolan karena tak bisa mendeteksi kedatangan eks caleg PDI Perjuangan Harun Masiku yang sempat kabur ke Singapura usai operasi tangkap tangan (OTT) KPK dan terpidana kasus Bank Bali Djoko Tjandra.
Kurnia mengatakan dalam kurun waktu 20 tahun belakangan ini, ICW mencatat setidaknya ada 40 buronan yang tak berhasil ditangkap oleh penegak hukum dan kebanyakan berada di luar negeri. Sehingga, sebagai pemegang kewenangan otoritas pusat, Kemenkumham harusnya bertindak proaktif sebagai koordinator dan katalisator pelaksanaan ekstradisi.
"Kemenkumham mesti aktif dalam melacak keberadaan buronan-buronan tersebut sembari mengupayakan jalur formal melalui mutual legal assistance ataupun perjanjian ekstradisi antar negara," tegasnya sambil meminta Kemenkumham melakukan pendekatan non-formal dengan negara lain untuk mudah mencari buronan di negara lain.
Hal penting lainnya yang harus segera dilakukan pemerintah dan DPR RI adalah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Kurnia mengatakan, rancangan perundangan ini sebenarnya sudah masuk dalam program legislasi nasional DPR sejak tahun 2012 yang lalu.
"Namun pembentuk UU terkesan mengabaikan saja urgensi dari pengesahan regulasi ini. Padahal, RUU ini diyakini akan memaksimalkan serta mempercepat pemulihan kerugian negara akibat praktik korupsi karena tidak lagi bergantung dengan menghadirkan pelaku kejahatan," ungkapnya.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM berhasil menyelesaikan proses ekstradisi buronan tersangka pembobolan Bank BNI senilai Rp1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa dari Serbia. Maria saat ini tengah dibawa ke Indonesia untuk menjalani persidangan atas kasus yang menjeratnya.
Adapun Maria Pauline Lumowa merupakan orang yang paling dicari pemerintah Indonesia. Alasannya, wanita itu merupakan tersangka kasus pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru dengan modus Letter of Credit (L/C) fiktif.
Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengalami kerugian senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau setara Rp 1,7 triliun berdasarkan kurs saat itu. Uang sebanyak itu merupakan pinjaman PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Kecurigaan mulai dirasakan pihak Bank BNI. Sebab, proses peminjaman yang seharusnya cukup sulit karena nominal yang besar justru berjalan sangat mudah. Diduga, PT Gramarindo Group dibantu oleh oknum pegawai Bank BNI karena pengajuan peminjaman itu tetap menyetujui dengan jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp.
Terlebih, beberapa bank yang menjadi penjamin itu bukanlah bank korespondensi Bank BNI. Kecurigaan itu semakin kuat di Juni 2003. Pihak BNI menyelidiki transaksi keuangan PT Gramarindo Group. Hasilnya, perusahaan itu tak pernah melakukan ekspor atau tak sesuai seperti yang dilaporkan saat proses peminjaman.
Hingga akhirnya, pihak BNI melaporakan dugaan L/C fiktif tersebut ke Mabes Polri. Tetapi, Maria Pauline Lumowa justru meninggalkan Indonesia dengan pergi ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka
Dari hasil penyelidikan, wanita itu diketahui kerap berada di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura. Bahkan, diketahui jika Maria sudah menjadi warga negara Belanda sejak tahun 1979. Sehingga, Pemerintah Indonesia mencoba mengajukan permohonan ekstradisi ke Pemerintah Belanda sebanyak dua kali, tepatnya di 2010 dan 2014.
Namun, Pemerintah Belanda menolak permohonan itu. Justru memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda. Hingga akhirnya, wanita itu ditangkap pada 16 Juli 2019, berdasarkan red notice interpol yang diterbitkan pada 2004.