Kementerian BUMN Apresiasi Yasonna Terkait Ekstradisi Pembobol BNI
Tersangka kasus pembobol BNI Maria Pauline Lumowa (Foto: Humas Kemenkumham)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengapresiasi langkah Kementerian Hukum dan Ham yang berhasil mengekstradisi buronan tersangka kasus pembobol BNI senilai Rp1,7 triliun Maria Pauline Lumowa dari Serbia.

Sebab, kementerian yang dipimpin Yasonna Laoly bisa membawa Maria, meski Indonesia dengan Serbia tidak memiliki hubungan ekstradisi dengan Serbia. 

"Ini hal yang kami lihat, hal yang besar dilakukan oleh hal prestasi yang dilakukan oleh temen-teman dari Kementerian Hukum dan HAM," kata Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, Jakarta, Kamis 9 Juli. 

Menurut dia, apresiasi dilakukan karena tindak pidana yang dilakukan menyangkut bank milik BUMN. Dia pun berharap dalam proses persidangan dapat berjalan dengan baik dan proses pengembalian uang ke BNI bisa berjalan dengan baik.

"Mudah-mudahan selama proses hukum di Indonesia itu juga bisa membawa dampak, bahwa kerugian yang dialami oleh BNI bisa dikembalikan oleh tersangka dengan kembalinya ke indonesia," kata dia.

Adapun Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif. Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau setara Rp 1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.

Aksi PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari 'orang dalam' karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI. 

Pada Juni 2003, pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor. Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri. Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura. 

Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979. Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.

Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019. 

"Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham," kata Yasonna Laoly.