Cerita Yasonna Terkait Pemulangan Buron Pembobol BNI Rp1,7 Triliun
Buronan Maria Pauline Lumowa (Foto: humas Kemenkumham)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, ekstradisi buronan kasus pembobolan BNI senilai Rp1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa tidak mudah. Pemulangan Maria ke Indonesia harus melalui prosedur yang rumit. 

Yasonna mengatakan, pertama yang dilakukan pihaknya adalah mengirim surat permohohanan ekstradisi kepada Pemerintah Serbia. Surat dikirim setelah pihaknya mendapat kabar bahwa Maria tertangkap di di Bandara Internasional Nikola Tesla.

"Kami terus merespon pemberitahuan dari Pemerintah Serbia, Interpol Serbia, Dirjen AHU tahun lalu langsung mengirimkan surat permintaan ekstradisi tanggal 31 Juli 2019," ucap Yasonna, Kamis, 9 Juli.

Namun pada saat itu, ekstradisi tidak bisa langsung dilakukan. Kemudian, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM kembali bersurat mengenai permohonan percepatan proses ekstradisi pada 3 September.

Lalu, Divisi Hubungan Internasional melakukan diplomasi dengan pola pendekatan-pendekatan tertentu dengan Pemerintah Serbia. Hingga akhirnya, mulai menemukam titik terang pada proses ekstradisi tersebut.

Mendapat kabar itu, Yasonna langsung berkomunikasi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai langkah yang akan ditempuh. Sebab, masa penahanan terhadap Maria Pauline Lumowa tak lama lagi akan berakhir.

"Karena kalau kita lewat tanggal 16, masa penahanannya akan berakhir," kata Yasonna.

Sekadar informasi, Maria Pauline Lumowa merupakan orang yang paling dicari pemerintah Indonesia. Alasannya, wanita itu merupakan tersangka kasus pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru dengan modus Letter of Credit (L/C) fiktif.

Adapun pada Oktober 2002 hingga Juli 2003, BNI mengalami kerugian senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau setara Rp 1,7 triliun berdasarkan kurs saat itu. Uang sebanyak itu merupakan pinjaman PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.

Kecurigaan mulai dirasakan pihak BNI. Sebab, proses peminjaman yang seharusnya cukup sulit karena nominal yang besar justru berjalan sangat mudah. Diduga, PT Gramarindo Group dibantu oleh 'oknum' pegawai Bank BNI karena pengajuan peminjaman itu tetap menyetujui dengan jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp.

Terlebih, beberapa bank yang menjadi penjamin itu bukanlah bank korespondensi Bank BNI. Kecurigaan itu semakin kuat di Juni 2003. Pihak BNI menyelidiki transaksi keuangan PT Gramarindo Group. Hasilnya, perusahaan itu tak pernah melakukan ekspor atau tak sesuai seperti yang dilaporkan saat proses peminjaman.

Hingga akhirnya, pihak BNI melaporakan dugaan L/C fiktif tersebut ke Mabes Polri. Tetapi, Maria Pauline Lumowa justru meninggalkan Indonesia dengan pergi ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka

Dari hasil penyelidikan, wanita itu diketahui kerap berada di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura. Bahkan, diketahui jika Maria sudah menjadi warga negara Belanda sejak tahun 1979. Sehingga, Pemerintah Indonesia mencoba mengajukan permohonan ekstradisi ke Pemerintah Belanda sebanyak dua kali, tepatnya di 2010 dan 2014.

Namun, Pemerintah Belanda menolak permohonan itu. Justru memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda. Hingga akhirnya, wanita itu ditangkap pada 16 Juli 2019, berdasarkan red notice interpol yang diterbitkan pada 2004.