Kemenkumham Berhasil Bawa Pulang Buronan Pembobol BNI Rp1,7 Triliun
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat pemulangan bunonan Maria Pauline Lumowa (Foto: Humas Kemenkumham)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Hukum dan HAM berhasil menyelesaikan proses ekstradisi buronan tersangka pembobolan Bank BNI senilai Rp1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa dari Serbia. Maria saat ini tengah dibawa ke Indonesia untuk menjalani persidangan atas kasus yang menjeratnya.

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mengatakan, peyelesaian ektradisi bukanlah perkara yang mudah. Sebab, Indonesia dan Serbia belum memilki perjanjian kerjasama terkait ekstradisi. Tetapi, berkat diplomasi yang terus dilakukan akhirnya pemerintah Serbia menyerahkan Maria Pauline Lumowa.

"Namun lewat pendekatan tingkat tinggi dengan para petinggi Pemerintah Serbia dan mengingat hubungan sangat baik antara kedua negara, permintaan ekstradisi Maria Pauline Lumowa dikabulkan," ucap Yasonna dalam keterangan resmi dikutip Kamis 9 Juli.

Yasonna mengungkap, saat proses diplomasi berlangsung, beberapa hal sempat mengganggu proses ektradisi. Pihak Maria Pauline Lumowa dan salah satu negara eropa mencoba menggagalkan proses ekstradisi. Namun, hal itu bisa digagalkan dan proses ekstadisi berjalan dengan baik.

"Sempat ada upaya hukum dari Maria Paulina Lumowa untuk melepaskan diri dari proses ekstradisi, juga ada upaya dari salah satu negara Eropa untuk mencegah ekstradisi terwujud," kata Yasonna.

Menurut dia, proses ekstradisi berhasil dilakukan karena pernah mengabulkan ekstradisi yang diajukan Serbia. Yakni, mengabulkan ekstradisi pelaku pencurian data nasabah, Nikolo Iliev, pada 2015.

Adapun Maria Pauline Lumowa merupakan orang yang paling dicari pemerintah Indonesia. Alasannya, wanita itu merupakan tersangka kasus pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru dengan modus Letter of Credit (L/C) fiktif.

Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengalami kerugian senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau setara Rp 1,7 triliun berdasarkan kurs saat itu. Uang sebanyak itu merupakan pinjaman PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.

Kecurigaan mulai dirasakan pihak Bank BNI. Sebab, proses peminjaman yang seharusnya cukup sulit karena nominal yang besar justru berjalan sangat mudah. Diduga, PT Gramarindo Group dibantu oleh oknum pegawai Bank BNI karena pengajuan peminjaman itu tetap menyetujui dengan jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp.

Terlebih, beberapa bank yang menjadi penjamin itu bukanlah bank korespondensi Bank BNI. Kecurigaan itu semakin kuat di Juni 2003. Pihak BNI menyelidiki transaksi keuangan PT Gramarindo Group. Hasilnya, perusahaan itu tak pernah melakukan ekspor atau tak sesuai seperti yang dilaporkan saat proses peminjaman.

Hingga akhirnya, pihak BNI melaporakan dugaan L/C fiktif tersebut ke Mabes Polri. Tetapi, Maria Pauline Lumowa justru meninggalkan Indonesia dengan pergi ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka

Dari hasil penyelidikan, wanita itu diketahui kerap berada di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura. Bahkan, diketahui jika Maria sudah menjadi warga negara Belanda sejak tahun 1979. Sehingga, Pemerintah Indonesia mencoba mengajukan permohonan ekstradisi ke Pemerintah Belanda sebanyak dua kali, tepatnya di 2010 dan 2014.

Namun, Pemerintah Belanda menolak permohonan itu. Justru memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda. Hingga akhirnya, wanita itu ditangkap pada 16 Juli 2019, berdasarkan red notice interpol yang diterbitkan pada 2004.

"Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham," pungkas Yasonna.