Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengeluarkan peraturan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai di berbagi pusat perbelanjaan hingga pasar tradisional. Tetapi, aturan itu dianggap tak serius karena minimnya pengawasan. Sebab, hingga aturan itu mulai diterapkan per 1 Juli, masih saja banyak yang menggunakan kantong plastik.

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan, aturan belum dijalankan secara maksimal karena kurangnya pengawasan dari Pemprov. Ditambah pengelola pusat perbelanjaan ataupun pasar tradisional kurang mensosialisaikan kepada para pedagang maupun pembeli.

"Ini lebih kepada kurangnya pengawasan. Pengelola justru terkesan membiarkan atau tidak mensosialisaikan kepada pedagang dan pembeli. Sehingga, aturan itu tidak akan berjalan," kata Tubagus kepada VOI, Kamis, 2 Juli.

Seharusnya, pihak Pemprov harus mengawasi berjalannya aturan yang sudah dibuat. Jika tidak, hal itu nantinya hanya akan menampilkan ketidak seriusan dalam mengurangi jumlah sampah plastik.

Bahkan yang akan terlihat Pemprov seolah-olah hanya sekedar membuat aturan hanya untuk Jakarta terlihat hijau. Tetapi tanpa ada realisasi atau pengawasan dari aturan tersebut.

"Tentu harus ada pengawasan kalau tidak ada, nantinya terlihat jika Pemprov tidak serius untuk menerapkan aturan," kata Tubagus.

Dugaan bisnis

Dengan kurangnya pengawasan, kata Tubagus, muncul dugaan pihak pengelola pusat perbelanjaan dan pasar tradisional menjadikan aturan itu sebagai bisnis.

Dicontohkan, jika pihak pengelola pusat perbelanjaan sudah mengetahui adanya aturan itu tetapi tidak mensosialisasikan ke tingkat bawah atau pembeli. Mereka seolah membiarkan para pembeli untuk datang tanpa persiapan.

Sehingga, nantinya para pembeli harus membayarkan sejumlah uang untuk mendapatkan kantung bukan plastik yang memang diperjual-belikan.

"Dugaan kita memang ke arah sana (bisnis, red). Jadi seolah-olah sengaja sama pihak pengelola tidak disosialisaikan," pungkas Tubagus.

Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Andono Warih menjelaskan, alasan Pemprov DKI melarang penggunaan plastik sekali pakai karena berkaitan dengan sampah. Apalagi, perkara sampah menjadi salah satu masalah klasik di Jakarta, selain banjir dan kemacetan.

Berdasarkan data Dinas LH, timbunan sampah pada akhir tahun 2019 mencapai 7.702 ton/hari yang masuk ke TPST Bantargebang, di mana 34 persen akumulasi sampah di TPST Bantargebang adalah sampah plastik. 

"Hal ini disebabkan jenis kantong kresek tidak laku untuk dikumpulkan oleh pemulung, yang bisa didaur ulang oleh industri daur ulang. Sampah jenis ini membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terdekomposisi secara alamiah," kata Andono.

Andono tak mau melanjutkan program kantong plastik berbayar yang dulu sempat diterapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebab, kebijakan ini tak dapat mengurangi penggunaan kantong plastik. 

"Jika sekali pakai tentu tidak memenuhi prinsip guna ulang (reusable) yang dirancang untuk dapat digunakan berulang kali. Sehingga, tidak menjawab tujuan dari kebijakan ini, yaitu pengurangan sampah di sumber," tutur dia.

Dampak buruk yang terjadi jika sampah plastik semakin menumpuk adalah terganggunya aliran air di saluran mikro dan penghubung yang akan menimbulkan genangan. Terpecahnya plastik menjadi mikroplastik berbahan kimia tersebut jika tersebar sampai ke perairan, bisa terkosumsi oleh mikrorganisme hingga makhluk hidup lainnya.