Segudang Keluhan di Balik Larangan Kantong Plastik Sekali Pakai di Jakarta
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai telah berlaku di Jakarta pada 1 Juli. Pemprov DKI mengklaim telah menjalankan sosialisasi larangan kantong plastik dan kewajiban menggunakan kantong belanja ramah lingkungan secara masif selama 6 bulan terakhir.

Namun, ternyata sejumlah ketentuan yang diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 142 Tahun 2019 ini dikeluhkan para pedagang dan pengelola tempat belanja. 

Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Miftahudin menganggap, sampai saat ini, sejumlah pedagang belum mendapat informasi yang lebih detail atas sosialisasi Pemprov DKI mengenai isi Pergub 142/2019. 

Pedagang pasar, kata Miftahudin, juga belum memahami alasan kuat bahwa mereka harus mengganti penggunaan kantong plastik dengan kantong belanja ramah lingkungan.

"Kami mendorong kepada Pemprov agar melibatkan kelompok atau ketua blok pasar untuk ikut membantu menyosialiasikan kepada anggota-anggota di bloknya. Ini jauh lebih efektif," kata Miftahudin kepada wartawan, Kamis, 2 Juli.

Miftahudin mengatakan, pedagang pasar juga kebingungan ketika harus membungkus dagangan mereka yang basah. Sebab, makanan atau barang basah tak bisa ditaruh dalam kantong berbahan kertas atau kain, dan tidak bisa disatukan dengan barang lainnya.

Oleh sebab itu, Miftahudin meminta Pemprov DKI memberikan pengecualian terhadap pengemasan makanan basah, hingga ada solusi alternatif kantong belanjaan yang tepat sesuai kebutuhan mereka.

"Untuk sementara waktu, kami meminta Pemprov tetap mengizinkan pedagang masih memakai plastik kecil untuk beberapa komoditas dagangan yang basah dan yang tidak memungkinkan dijadikan satu dengan tas belanjaan," ucap dia.

Terpisah, Ketua Asosialsi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Ellen Hidayat juga mengeluhkan beberapa hal, meski sebagian besar toko di pusat belanja menengah ke atas sudah menggunakan berbagai kantong belanja dari kertas dan bahan daur ulang.

"Namun, bagi para pelaku UKM yang juga berada di Trade Mall peningkatan kantong plastik menjadi kantong yang ramah lingkungan akan menjadi tambahan biaya penjualan di saat ini," ungkap Ellen.

Belum lagi, dengan kondisi pandemi COVID-19, banyak usaha makanan yang harus membungkus makanan dengan proteksi kebersihan lebih pada belanja pesan antar. Ketika plastik sekali pakai dilarang, para toko kebingungan mencari bahan pengganti pembungkus makanan yang higienis.

"Banyak timbul pertanyaan dari para tenant yang kebingungan mencari bahan substitusi sehingga produk food tersebut tetap terjamin higienisnya, perlu arahan yang lebih jelas dari Dinas Lingkungan Hidup perihal ini," tutur Ellen.

Ellen juga mengeluhkan soal penerapan sanksi yang diatur dalam Pergub DKI Nomor 142/2019. Dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa pengelola pusat belanja akan menerima sanksi jika ada toko yang masih menggunakan kantong plastik sekali pakai.

Padahal, pusat belanja berstatus menyewakan tempat, bukan sebagai pelaku usaha dan tidak bersinggungan langsung dengan pemakaian tas kresek. Namun, sanksi diberikan juga kepada pengelola pusat belanja," ucap dia.

Alasan Pemprov DKI buat larangan kantong plastik sekali pakai

Wacana pelarangan kantong plastik ini sudah dilontarkan sejak Januari. Aturan ini diterapkan setelah Pemprov DKI memberi waktu 6 bulan. Tujuannya agar seluruh usaha dan masyarakat bisa mempersiapkan penyediaan kantong ramah lingkungan. Kantong yang bisa dipakai berulang kali, seperti kantong berbahan kain, pandan, purun, polyster, kertas, dan daun kering. 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Andono Warih menjelaskan, alasan Pemprov DKI melarang penggunaan plastik sekali pakai karena berkaitan dengan sampah. Apalagi, perkara sampah menjadi salah satu masalah klasik di Jakarta, selain banjir dan kemacetan.

Berdasarkan data Dinas LH, timbunan sampah pada akhir tahun 2019 mencapai 7.702 ton/hari yang masuk ke TPST Bantargebang, di mana 34 persen akumulasi sampah di TPST Bantargebang adalah sampah plastik. 

"Hal ini disebabkan jenis kantong kresek tidak laku untuk dikumpulkan oleh pemulung, yang bisa didaur ulang oleh industri daur ulang. Sampah jenis ini membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk terdekomposisi secara alamiah," kata Andono.

Andono tak mau melanjutkan program kantong plastik berbayar yang dulu sempat diterapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebab, kebijakan ini tak dapat mengurangi penggunaan kantong plastik. 

"Jika sekali pakai tentu tidak memenuhi prinsip guna ulang (reusable) yang dirancang untuk dapat digunakan berulang kali. Sehingga, tidak menjawab tujuan dari kebijakan ini, yaitu pengurangan sampah di sumber," tutur dia.

Dampak buruk yang terjadi jika sampah plastik semakin menumpuk adalah terganggunya aliran air di saluran mikro dan penghubung yang akan menimbulkan genangan. Terpecahnya plastik menjadi mikroplastik berbahan kimia tersebut jika tersebar sampai ke perairan, bisa terkosumsi oleh mikrorganisme hingga makhluk hidup lainnya.