Bagikan:

JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ditarik dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 karena pembahasannya dinilai sulit. Alasan ini kemudian diprotes sejumlah pihak, sebab kehadiran RUU PKS dinilai penting untuk menangani kasus kekerasan seksual.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pencabutan RUU PKS itu masuk akal karena prosesnya berpolemik.

"RUU PKS ini menuai polemik di masyarakat kemudian di kaum perempuan juga dan ini kan sudah sangat panjang polemik ini," kata Dasco kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 1 Juli.

Dia meminta masyarakat tidak reaktif. Sebab, RUU ini masih belum resmi dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020.

"Soal pencabutan RUU, Badan Legislatif akan merapatkan dengan pemerintah untuk membicarakan hal ini. Apabila hal ini disepakati, maka Baleg melalui mekanisme akan mencabut," ungkapnya sambil menambahkan setelah dicabut, RUU ini kembali dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2021.

Polemik soal RUU PKS ini bermula saat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI meminta Komisi VIII DPR RI mengeluarkan rancangan perundangan carry over tersebut dari Prolegnas Prioritas 2020. Komisi VIII menyetujuinya.

Tapi, beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Daposang menarik RUU PKS ini dari Prolegnas Prioritas 2020 dengan alasan pembahasannya sulit. RUU PKS merupakan inisiatif DPR. 

"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena pembahasannya agak sulit kami menarik (dari Prolegnas Prioritas 2020, red)," kata Marwan dalam rapat koordinasi dengan seluruh komisi untuk membicarakan tentang evaluasi Prolegnas Prioritas 2020 di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 30 Juni.

Disesalkan sejumlah pihak

Penarikan perundangan ini dari Prolegnas Prioritas disesalkan oleh Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Bahrul Fuad.

"Kehadiran RUU PKS ini sangat penting untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang trennya selalu naik dan bentuknya selalu beragam. Kehadiran RUU PKS juga memiliki peran yang sangat penting untuk melindungi perempuan dari kelompok rentan seperti perempuan dengan disabilitas," kata Bahrul saat dihubungi VOI, Rabu, 1 Juli.

Komnas Perempuan mencatat, selama kurun waktu 12 tahun kekerasan seksual terhadap perempuan mencapai 431.471 kasus hingga akhir tahun 2019. Sehingga menjadi penting, ada perundang-undangan yang mengatur mengenai penanganan kasus kekerasan seksual.

Bukan hanya soal menjerat pelaku kekerasan seksual, RUU PKS ini juga berfokus pada perlindungan dan pemulihan hak-hak korban kekerasan seksual dan melindungi mereka.

Bahrul mengatakan, dari seluruh tindak kekerasan seksual yang telah ditanganinya tersulit adalah masalah aspek pemulihan. Sebab dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digunakan saat ini, aspek pemulihan korban kekerasan seksual sama sekali belum diatur.

Maksud pemulihan adalah ganti rugi dari pelaku kekerasan seksual, tanggung jawab pemerintah, pelibatan pemerintah, pelibatan korporasi, dan masyarakat yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh daerah, tokoh agama termasuk ulama dan organisasi keagamaan, serta keluarga.

Atas alasan inilah, Bahrul menilai, RUU PKS benar-benar dibutuhkan untuk korban kekerasan seksual di Indonesia. Sebab selama ini korban kekerasan seksual kerap mengalami trauma karena tak mendapatkan hak mereka berupa kepastian mendapatkan keadilan, pemulihan, dan kepastian kejadian traumatis itu tidak terjadi lagi.

Sedangkan terkait penarikan RUU ini dari Prolegnas Prioritas 2020 karena pembahasannya yang sulit, dianggapnya bukan alasan yang tepat. Menurut Bahrul, alasan dibalik penarikan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 disebabkan karena tak adanya political will bagi korban tindak kekerasan seksual.

Dia juga mengatakan penarikan jelas bukan solusi. Sebab sebagai anggota dewan harusnya DPR RI khususnya Komisi VIII bekerja keras untuk memenuhi janji penyelesaian rancangan perundangan carry over tersebut di tahun ini. "Atau mengalihkan pembahasan ke alat kelengkapan DPR seperti Baleg yang bisa membahasnya secara lebih komprehensif," tegasnya.

Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A. T. Napitupulu juga meminta RUU PKS tetap masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2020 dan pembahasannya segera diselesaikan. Jika DPR menyerah karena alasan sulit, maka ini sama saja menjadikan korban kekerasan seksual tidak mendapatkan keadilan.

"Penanganan korban kekerasan seksual jelas kompleks dan sulit maka dari itu memerlukan peran negara. Jika negara menyerah karena kesulitan maka korban akan menjadi korban untuk kesekian kalinya," kata Erasmus.

Pembahasan ini, sambung dia, perlu dilakukan mengingat minimnya pendampingan bagi korban. Apalagi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2018 tercatat jumlah kasus kekerasan seksual mencapai 5.513 kasus yang terdiri dari 3.970 kasus pencabulan dan 1.288 perkosaan.

"Namun, akses perlindungan terhadap korban kekerasan seksual sangat minim, berdasarkan Laporan Tahunan LPSK 2019, korban kekerasan seksual yang terlindungi hanya 507 orang," ungkap dia.

Selain itu pembahasan RUU PKS harus tetap berjalan karena negara dianggap telah abai dengan pemulihan korban kekerasan seksual. Sebab, pemerintah saat ini tak menanggung pembiayaan korban kekerasan seksual dalam jaminan kesehatan. 

"Pemerintah pada 18 September 2018 lalu menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mengecualikan pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual," ujarnya.

"Berdasarkan Perpres tersebut, luka akibat kekerasan tidak dikategorikan sebagai penyakit," imbuhnya sambil menambahkan dengan keluarnya Perpres itu maka negara tak lagi menanggung biaya visum dan pengobatan yang dijalankan oleh perempuan dan anak korban kekerasan seksual.

Alasan terakhir adalah mengenai tak adanya mekanisme komperhensif terkait perlindungan dan pemulihan korban seksual.

Sehingga dari sejumlah pembahasan tersebut, harusnya sudah tak ada alasan lagi bagi DPR untuk menunda RUU PKS tersebut. "DPR harus segera menjamin pembahasan RUU PKS, tetap harus menjadi prioritas," pungkasnya.