Pejabat OJK Fakhri Hilmi Jadi Tersangka Baru Kasus Jiwasraya
Ilustrasi. (Didi Kurniawan/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Fakhri Hilmi (FH) ditetapkan sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). FH diduga terlibat dalam proses tindak korupsi sehingga mengakibatkan perusahaan asuransi pelat merah tersebut gagal membayar dana nasabah dan berujung pada kerugian negara.

"Satu orang tersangka dari Otoritas Jasa Keuangan OJK atas nama FH, saat itu menjabat Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 2A periode Februari 14-17 (2014-2017). Diangkat (menjadi) Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal 2 OJK periode 2017-sekarang," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono dalam keterangannya, Kamis, 25 Juni.

Atas perbuatannya FH dijerat dengan Pasal 2 subsidair Pasal 3 Undang-Undang 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hari menjelaskan, tidak menutup kemungkinan FH juga dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang apabila ditemukan bukti dari hasil pengembangan nantinya.

Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, Hari mengatakan, Kejaksaan Agung belum melakukan penahanan terhadap FH. Kendati demikian, penyidik akan mengajukan pencegahan ke luar negeri untuk tersangka.

"Sementara ini belum ditahan. Ketika menetapkan tersangka perorangan, akan selalu diikuti dengan pencekalan (pencegahan)," ujarnya.

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mengaku belum bisa memberikan keterangan apapun terkait penetapan tersangka Fakhri Hilmi. Ia berharap semua pihak bisa memberikan waktu sampai menunggu OJK memberikan pernyataan resmi.

13 Korporasi

Selain itu, Kejaksaan Agung juga menjerat 13 korporasi sebagai tersangka dalam perkara ini. Perusahaan-perusahaan itu merupakan manajer investasi yang diduga terlibat dalam pelarian uang nasabah. Dari keterlibatan perusahaan manajer investasi tersebut, kerugian negara ditaksir mencapai Rp12,1 triliun.

Hari mengatakan, kerugian tersebut merupakan bagian dari kerugian negara yang telah disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp16,81 triliun beberapa waktu lalu. Seluruh perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka dijerat dengan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Untuk 13 korporasi tadi dugaannya melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Subsidair Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan dugaannya adalah TPPU," katanya.

Menurut Hari, hingga saat ini pihaknya terus melakukan penyidikan terhadap kasus Jiwasraya dengan melakukan pendalaman transaksi perusahaan tersebut sejak kurun waktu 2014-2018.

Lebih lanjut, Hari mengatakan, jika nantinya hasil penyidikan terbukti ada aset-aset hasil kejahatan maka Kejaksaan Agung akan melakukan penyitaan. Kendati demikian, proses tersebut tidak mengganggu jalan operasional bisnis yang dilakukan.

Adapun 13 perusahaan yang telah ditetapkan sebagai tersangka yakni PT DM/PAC, PT OMI, PT PPI, PT MD, PT PAM dan PT MAM. Selain itu, ada juga PT MNC, PT GC, PT JCAM, PT PAAM, PT CC, PT TVI, serta PT SAM.

Dengan ditetapkannya tersangka baru dari korporasi dan petinggi OJK menambah panjang daftar tersangka kasus Jiwasraya yang merugikan negara Rp16,81 triliun ini. Sebelumnya, proses persidangan enam terdakwa telah dilakukan.

Mereka yakni Presiden Komisaris Trada Alam Minera Heru Hidayat, Direktur Utama Hanson International Benny Tjokrosaputro, serta tiga pejabat Jiwasraya yakni eks Direktur Keuangan Hary Prasetyo, eks Direktur Utama Hendrisman Rahim, mantan pejabat perusahaan Syahmirwan dan Direktur PT Maxima Integra Group, Joko Hartono Tirto.

Keenam terdakwa didakwa dengan pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.