2 Tahun Ini PPATK Catat Kejahatan Siber BEC Masuk Indonesia, Reputasi Negara Rusak Bila Salah Antisipasi
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae (Foto: ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Tindak pidana pencucian uang (TPPU) melalui penipuan dengan skema Business Email Compromise (BEC) telah menjadi persoalan global 5 tahun terakhir ini. Tindakan ini mendatangkan petaka bagi ribuan pelaku bisnis dengan jumlah kerugian miliaran dolar AS tiap tahunnya.

BEC merupakan salah satu bentuk kejahatan siber dengan cara melakukan penipuan dengan menggunakan surat elektronik (email) palsu atau peretasan email oleh pelaku kejahatan.

Tujuannya adalah mengalihkan tujuan transfer dana ke rekening perusahaan yang sengaja didirikan dengan nama menyerupai perusahaan sebenarnya.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat dalam dua tahun terakhir kejahatan ini telah memasuki sistem keuangan Indonesia. Parahnya, kecemasan dan ketidakpastian akibat COVID-19 dimanfaatkan oleh pelaku.

Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, apabila tidak dilakukan langkah pencegahan dan penindakan sistemik dan konsisten, kejahatan ini bakal menggerus integritas sistem perbankan, keuangan di Indonesia di mata pelaku bisnis dan lembaga keuangan internasional.

"Pada gilirannya, hal ini dapat merusak persepsi dan reputasi baik negara," kata Dian Ediana di Jakarta, Antara, Rabu, 18 Agustus. 

Kehati-hatian perlu ditingkatkan bagi semua pelaku bisnis. Apalagi, mereka memanfaatkan kemudahan yang diberikan pemerintah kepada pelaku usaha untuk mendirikan usaha dengan mengajukan perizinan berusaha secara elektronik.

Para pelaku bisnis juga diminta meningkatkan kewaspadaan, baik pada saat melakukan pembayaran ke luar negeri maupun pada saat menerima pembayaran.

“Apabila terjadi situasi yang tidak biasa, baik terkait rekening maupun jangka waktu pembayaran, agar sesegera mungkin melakukan klarifikasi dengan rekan bisnisnya,” imbaunya.

Kepala PPATK merekomendasikan beberapa strategi kepada perbankan dalam mengantisipasi kejahatan ini. Pertama, peningkatan penerapan prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer) dengan lebih baik di semua kantornya.

Kedua, bank diharapkan tidak menerapkan kebijakan pembukaan rekening baru sebagai ukuran kinerja dan tidak mengandalkan jasa pihak ketiga untuk menjaring nasabah baru.

Ketiga, bank juga diminta untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan target penghimpunan dana pihak ketiga, termasuk dalam memperlakukan penerimaan dana dari luar negeri.

Dan terakhir, bank harus melakukan due diligence dan enhance due diligence untuk memahami profil nasabah dengan baik, sebelum melakukan pembukuan ke rekening tujuan dari dana yang masuk dari luar negeri.

"Hal ini diperlukan mengingat transaksi keuangan yang terkait dengan BEC pada umumnya menggunakan layanan atau produk keuangan yang dimiliki oleh bank, di antaranya berupa transaksi transfer dana, penarikan dana secara tunai, dan penukaran valuta asing,” jelas Dian.

Daftar Hitam

Kepala PPATK menyatakan akan mengkoordinasikannya dengan lembaga terkait yang meliputi Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Untuk menjaga integritas sistem keuangan Indonesia, mencegah semakin maraknya tindak pidana penipuan dengan modus BEC, sekaligus menghindari kerugian para pelaku usaha dan masyarakat, dalam waktu dekat PPATK akan menyampaikan Daftar Hitam TPPU-TPPT (AML-CFT Black List).

Daftar Hitam TPPU-TPPT antara lain berisikan para pelaku kejahatan siber, baik individu maupun badan hukum agar tidak dapat membuka rekening di seluruh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) di seluruh Indonesia, termasuk untuk nasabah pengguna sistem pembayaran lainnya.

“Dalam waktu dekat, PPATK juga akan menyampaikan indikator atau paramater kepada seluruh PJK untuk digunakan dalam mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan terkait BEC. Indikator atau parameter tersebut merupakan masukan dari Public Private Partnership (PPP) atau Intracnet yg diinisiasi oleh PPATK sejak Mei 2021,” tutur Kepala PPATK. yang juga mantan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia untuk Eropa di London.

Dia menjelaskan bahwa melalui penerapan kewenangan penghentian sementara transaksi keuangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK telah menyelamatkan dana yang berasal dari hasil kejahatan BEC dalam jumlah signifikan yang terjadi di negara Italia, Belanda, Amerika Serikat, Jerman, Turki, Jepang, dan di beberapa negara lainnya.

“Pada praktiknya, pelaku BEC seringkali memanfaatkan transaksi yang bersifat lintas batas negara, dan melibatkan sindikat yang beroperasi di Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia,” urainya.

Selama periode Juli 2020 hingga Juli 2021, hasil kejahatan yang masuk ke sistem perbankan di Indonesia sudah mencapai angka Rp 300 miliar, dan yang berhasil diselamatkan melalui penghentian sementara transaksi mencapai angka Rp 175 miliar. Sisanya tidak berhasil diselamatkan karena sudah ditarik pelaku, yang saat ini sedang proses penyidikan Kepolisian.

Masih tingginya hasil kejahatan yang berhasil ditarik oleh pelaku kejahatan terutama disebabkan keterlambatan informasi yang disampaikan, baik oleh Lembaga Intelijen Keuangan atau Interpol negara asal korban kepada PPATK sehingga dana sudah terlanjur ditarik oleh pelaku.

Untuk mengatasi keterlambatan penyampaian informasi ini, PPATK dalam proses pematangan dalam bentuk koordinasi aktif dengan Kepolisian Negara RI untuk segera membentuk Tim Tanggap Cepat Kejahatan Transnasional (Transnational Crime Rapid Response Team). PPATK juga akan mengoptimalkan Nota Kesepahaman dengan Kementerian Luar Negeri melalui optimalisasi peran Kedutaan Besar RI dalam meningkatkan efektivitas pemberantasan kejahatan internasional seperti kejahatan siber.

“Optimalisasi kerja sama juga dilakukan PPATK dengan jaringan intelijen keuangan global untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan kejahatan siber, khususnya BEC,” pungkas Kepala PPATK.