Isu Amandemen UUD 1945 Mencuat, F-PAN di DPR Bereaksi: Harus Aspirasi Rakyat, Jangan Politik Sesaat!
Anggota Komisi IX F-PAN Saleh Daulay (Foto: Nailin/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay menegaskan,  amandemen UUD 1945 adalah pekerjaan yang tidak mudah. Sebab, perubahan atas pasal-pasal yang terdapat di dalam konstitusi akan berimplikasi luas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Karena itu, menurut Saleh, sebelum pintu amandemen dibuka, sebaiknya seluruh kekuatan politik, civil society, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan berbagai elemen lainnya bisa duduk merumuskan agenda dan batasan amandemen tersebut.

"Konstitusi adalah milik seluruh rakyat. Perubahan terhadap konstitusi sebaiknya didasarkan atas aspirasi dan keinginan rakyat. Perubahan itu pun tidak boleh hanya demi tujuan politik sesaat," ujar Saleh, Rabu. 18 Agustus.

Sebelum dibuka perubahan, Saleh menilai, perlu dilakukan pemetaan terhadap pokok-pokok dan isu yang akan diubah agar agenda amandemen tersebut fokus dan terarah.

Selain itu, juga harus ada kesepakatan semua fraksi dan kelompok DPD di MPR terhadap peta perubahan yang diajukan. Dengan begitu, kata Saleh, tidak ada kekhawatiran bahwa amandemen akan melebar kepada isu-isu lain di luar yang telah disepakati.

"Sekarang ini, amandemen UUD 1945 disebut sebagai amandemen terbatas. Apa yang membatasinya? Nah, itu tadi kesepakatan politik antar fraksi dan kelompok DPD yang ada di MPR. Agar lebih akomodatif, semua elemen di luar MPR juga perlu didengar dan dilibatkan," papar anggota Komisi IX DPR ini.

Sementara secara teknis, Saleh menekankan bahwa pelaksanaan amandemen juga tidak mudah. Dalam Pasal 37 UUD 1945 disebutkan bahwa pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, untuk mengubah pasal-pasal sidang harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan putusan untuk mengubah pasal-pasal hanya dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen +1 dari seluruh anggota MPR.

"Selain berbagai kepentingan politik yang mengelilinginya, persoalan teknis ini juga diyakini menjadi alasan mengapa amandemen sulit dilaksanakan. Padahal, MPR periode 2009-2014 isu amandemen ini sempat menguat atas usulan DPD," ungkap legislator dapil Sumatera Utara itu.

Isu amandemen, sambung Saleh, juga berlanjut pada periode 2014-2019. Bahkan, isu-isu yang akan dibahas dan diangkat sudah dirumuskan. Namun, amandemen tersebut belum bisa dilaksanakan. 

"Nah, bila hari ini amandemen UUD 1945 diagendakan lagi, maka kesulitan yang sama tetap akan ada. Ditambah lagi, Indonesia sedang fokus menghadapi pandemi. Tentu akan ada persoalan  'kepatutan' jika melakukan amandemen di tengah situasi seperti ini," kata Ketua DPP PAN itu.

"Kalau belum siap, sebaiknya ditahan dulu. Lakukan dulu kajian lebih komprehensif. Pengkajian itu sendiri dapat dianggap sebagai bagian dari proses  amandemen," tandas Saleh.

Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo, menilai perlu ada perubahan Undang-Undang Dasar untuk mewadahi Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN). Karena itu, diperlukan amandemen secara terbatas terhadap UUD NRI 1945 khususnya penambahan wewenang MPR guna menetapkan PPHN. 

“Proses perubahan UUD sesuai Ketentuan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945 memilki persyaratan dan mekansime yang ketat. Oleh karenanya perubahan UUD hanya bisa dilakukan terhadap pasal yang diusulkan untuk diubah disertai dengan alasannya," ujar Bambang Soesatyo dalam pidato pengantar Sidang Tahunan MPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Jakarta, Senin, 16 Agustus.