JAKARTA - Presiden Joko Widodo berulangkali menegaskan dirinya tidak memiliki niat menjadi presiden tiga periode. Jokowi juga tak ingin ada amandemen UUD NRI 1945 untuk menambah masa jabatan presiden.
"Apa lagi yang harus saya sampaikan? Bolak-balik ya sikap saya tidak berubah. Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak berminat juga menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama-sama," tegas Jokowi di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin, 15 Maret.
Jokowi meminta semua pihak untuk tidak menambah kegaduhan dengan menggulirkan isu keinginannya menambah masa jabatannya sebagai RI. Terlebih tengah dalam situasi pandemi COVID-19.
"Janganlah membuat kegaduhan baru. Kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi," kata Jokowi.
Lalu, mengapa isu perpanjangan masa jabatan presiden kembali mencuat?
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, pada akhir 2019 usulan melakukan amendemen UUD 1945 dengan mengubah masa jabatan presiden juga sempat mengemuka.
Ide itu disebut berasal dari Fraksi Partai NasDem di DPR RI. Akan tetapi isu tersebut juga dibantah anak buah Surya Paloh.
"Itu usulan masyarakat. Urusan amandemen UUD harus mendengar pendapat masyarakat, melibatkan masyarakat luas, dunia akademisi, tokoh-tokoh, semua pihak masyarakat,' kata Sekjen Partai NasDem Johnny G. Plate di Istana Presiden, Jakarta, Kamis 15 Desember 2019.
Tak hanya di era Jokowi, isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode juga muncul di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Namun, usulan tersebut menuai kritik keras dan gelombang penolakan yang luas dari masyarakat sehingga kandas di tengah jalan.
Jadi, siapa sebenarnya yang memainkan isu ini?
Amien Rais salah satu mengembuskan kembali isu perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode ini. Mantan Ketua MPR ini curiga akan ada skenario mengubah ketentuan dalam Undang Undang Dasar 1945 soal masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode.
Menurut Amien, rencana mengubah ketentuan tersebut akan dilakukan dengan menggelar Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) guna mengubah atau mengamendemen UUD 1945.
Amien mengklaim menangkap adanya sinyal politik terkait skenario yang tengah dilakukan sejumlah pihak untuk melakukan hal tersebut. Salah satunya melalui manuver politik yang dilakukan pemerintah saat ini dengan mengamankan semua lembaga negara, mulai dari DPR, MPR, DPD, maupun lembaga negara lain.
"Jadi sekarang ada semacam publik opini, yang mula-mula samar-samar tapi sekarang makin jelas ke arah mana rezim Jokowi. Jadi mereka akan mengambil langkah pertama meminta sidang istimewa MPR, yang mungkin satu, dua pasal yang katanya perlu diperbaiki yang mana saya juga tidak tahu, tapi kemudian nanti akan ditawarkan baru yang kemudian memberikan hak presidennya itu bisa dipilih tiga kali, nah kalau ini betul-betul keinginan mereka," ujar Amien melalui YouTube Channel Amien Rais Official yang diunggah pukul 20.00 WIB, Sabtu 13 Maret.
Apa benar Jokowi menolak gagasan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode?
Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Fahri Hamzah meyakini wacana 3 periode masa jabatan presiden bukan berasal dari keinginan Joko Widodo.
Menurut Fahri, perlu ditelusuri siapa pihak yang merancang isu tersebut. Termasuk maksud dan tujuannya meramaikan di media.
"Itu lah yang saya kira harus kita lacak sekarang ini. Sebab kalau dari presiden sendiri tidak mungkin. Mengapa? Saya sendiri pernah dua kali bertanya langsung kepada presiden soal ini sebelum berakhir jabatan, dan jawabannya bulat, beliau (Jokowi, red) katakan tidak ingin dikenang sebagai orang yang menginginkan jabatan kembali," ujar Fahri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu 17 Maret.
Fahri menduga memang ada pihak yang sengaja menggelontorkan isu 3 periode tersebut. Apalagi sudah menjadi budaya di masyarakat akan memviralkan informasi yang kemudian dimanfaatkan segelintir kelompok demi kepentingan tertentu.
"Dugaan saya kalau kita tidak naif, ini menjadi berita di sosial media yang sudah sering terjadi. Dan kita over acting dengan berita-berita itu," ungkap Fahri.
"Atau yang kedua memang ada kelompok yang menghembuskan isu ini, untuk kepentingan kelompoknya tentu," sambungnya.
Jangan Sampai Ada Peristiwa Masa Lalu
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menegaskan, usulan wacana tiga periode sangat-sangat tidak layak dan bertentangan dengan tujuan reformasi yang menginginkan adanya pembatasan masa jabatan presiden.
"Khitah perjuangan sistem presidensial purifikasi kita adalah membatasi masa jabatan presiden," katanya.
Terlebih, sambung Pangi, hingga isu ini kembali bergulir, masyarakat tidak pernah mendengar alasan substantif dan rasional mengapa masa jabatan presiden harus ditambah atau diperpanjang.
"Kita butuh alasan yang lebih masuk akal (commen sense) bukan menggiring perdebatan dan wacana politik ke dalam dukung-mendukung layaknya oposisi versus pemerintah atau perdebatan pilpres lalu yang tidak produktif dan minus argumentatif," tuturnya.
Kendati demikian, sambung Pangi, sepertinya publik juga harus menaruh curiga bahwa agenda penambahan masa jabatan presiden ini dipersiapkan dengan serius dan matang meskipun tidak punya basis argumen yang kuat.
"Lalu mengapa wacana penambahan masa jabatan presiden dihembuskan setiap tahun? Saya menaruh hormat sama presiden yang statement dan komentar serta hak jawabnya tetap konsisten dan tak berubah sampai hari ini. Ini sudah menjadi rekam jejak digital," ungkap dia.
"Jangan sampai seperti peristiwa masa lalu, tawaran datang menjadi capres, awalnya nggak tertarik, belum terpikirkan, belum berminat, tiba-tiba real menjadi calon presiden," imbuhnya.
Mengubah Amandemen 'Gol' kan Presiden 3 Periode, Tidak Mudah!
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet), Senin 15 Maret, menegaskan, syarat untuk melakukan amandemen UUD 1945 tidaklah mudah.
UUD 1945 saat ini sudah mengalami empat kali perubahan. Untuk bisa kembali diamandemen kelima kalinya, dibutuhkan usulan amendemen dari sepertiga anggota MPR.
Saat ini anggota MPR sendiri berjumlah 711, yang terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Jadi, amendemen minimal diusulkan oleh 237 anggota MPR.
Hal itu tertuang dalam Pasal 37 ayat 1 UUD 1945:
Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ayat selanjutnya menegaskan setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Setelah pengusul memenuhi kuorum, maka dibawa ke Sidang MPR untuk disetujui. Selanjutnya, Sidang MPR itu harus dihadiri sedikitnya oleh 2/3 anggota MPR atau sebanyak 474 anggota legislator/senator.
Hal itu sesuai dengan Pasal 37 ayat 3 UUD 1945:
Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Setelah semua materi dibahas dan disetujui Sidang MPR, langkah terakhir adalah pengesahan Amendemen Kelima UUD 1945 di Sidang MPR. Persetujuan ini minimal dihadiri oleh 357 anggota MPR. Syarat ini diatur tegas dalam Pasal 37 ayat 4:
Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Untuk diketahui, amandemen konstitusi di berbagai belahan dunia bukan hal yang tabu. Konstitusi Amerika Serikat hingga hari ini sudah 27 kali diamandemen. Amandemen terakhir pada 1992 soal hak-hak anggota senator dan legislator adalah sama.