Tak Kunjung Proses Kode Etik Azis Syamsuddin, Formappi Minta MKD DPR Ditinjau Lagi
ILUSTRASI FOTO/ANTARA

Bagikan:

JAKARTA -  Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengevaluasi Kinerja DPR Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021 yang telah berlangsung sejak 6 Mei sampai dengan 15 Juli 2021 atau 46 hari kerja. 

Formappi menilai DPR tidak maksimal melaksanakan semua fungsi, tidak kritis dan konstruktif. Sehingga tidak dapat memperbaiki ketidakberesan yang terjadi dalam penyelenggaraan hidup dan berbangsa.

Bahkan, setelah dievaluasi 2 tahun bekerja, Formappi menyebut DPR periode 2019-2024 merupakan DPR terburuk sepanjang era reformasi.

Secara kelembagaan, Formappi menilai DPR di periode pimpinan Puan Maharani sangat kurang dalam merespons persoalan bangsa.

Menurut peneliti Formappi bidang Pengawasan, Albert Purwa, berbagai pernyataan pimpinan DPR terutama Ketua DPR Puan Maharani tidak menukik pada sasaran pengawasan, hanya bersifat normatif dan hanya cari aman sendiri.

Pimpinan DPR, kata dia, bahkan tidak bersikap sama sekali terhadap isu tes wawasan kebangsaan (TWK) di KPK. Ketegasan pimpinan hanya tampak pada penolakan isoman bagi anggota DPR di hotel berbintang.

"Harusnya ketegasan seperti ini muncul, beri perhatian dan bersikap, tidak hanya pilih-pilih persoalan mana yang harus disikapi tegas oleh DPR," ujar Albert dam rilis evaluasi parlemen bertajuk #DPRKemana? secara virtual, Kamis, 12 Agustus.

Lebih khusus secara tupoksi alat kelengkapan dewan (AKD), Albert menyebutkan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR sampai saat ini belum berani memproses Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang ditengarai melakukan pelanggaran kode etik terhadap kasus suap wali kota Tanjungbalai pada penyidik KPK.

"Tampak sekali MKD DPR semakin tidak berguna, dan keberadaannya mesti ditinjau kembali," tegasnya.

Sementara, kata Albert, komisi-komisi DPR sudah semakin terbuka dalam mendengar aspirasi publik, baik lewat akademisi, swasta, NGO, instansi pemerintah dan stakeholder lainnya. Namun, keterbukaan itu berhenti hanya mendengar belum sampai pada mengakomodasi dalam berbagai keputusan.  

"AKD non Komisi seperti Banggar, Baleg, BAKN juga semakin terbuka dari sifat rapatnya. Namun sayang, BKSAP masih banyak rapat yang digelar tertutup, sementara aktivitas BURT tak nampak sama sekali," bebernya.

Pansus Otsus Papua, kata Albert, pun sangat terbuka rapat-rapatnya, hanya satu rapat yang dilakukan tertutup.

"Namun, keterbukaan itu tidak diikuti dengan mendengarkan pihak-pihak yang berkompeten tentang Papua, seperti DPRP dan MRP," katanya.

Selain itu, kehadiran anggota DPR dalam rapat paripurna juga masih stagnan dan maksimal hanya dihadiri 60 persen dari seluruh anggota yang berjumlah 575 orang. 

Formappi menyayangkan, kemudahan menghadiri rapat virtual tidak juga mendongkrak kehadiran anggota DPR dalam rapat paripurna.

"Ini mencerminkan ketidakseriusan sebagian anggota DPR atas pemaknaan rapur sebagai forum pengambilan keputusan DPR tingkat terakhir yang sangat penting karena menyangkut kepentingan negara dan bangsa," ujar Albert.