Petisi Copot Firli Bahuri Muncul setelah KPK Tolak Jalankan Hasil Laporan Ombudsman RI tentang TWK
Ketua KPK Firli Bahuri saat acara di KPK (Foto: Wardhany Tsa TsiaVOI)

Bagikan:

JAKARTA - Public Virtue Research Institute (PVRI) menggalang petisi mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) memecat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri.

Desakan ini muncul setelah KPK menolak melaksanakan tindakan korektif dari Ombudsman RI setelah ditemukannya maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang dalam proses Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawainya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Kami mengajak warga negara siapa saja dan di mana saja untuk menyuarakan masalah ini Caranya adalah menandatangani dan menyebarkan petisi ini tuntutan ini bisa sampai ke telinga Presiden," kata inisiator sekaligus Juru Bicara PVRI, Yansen Dinata dalam keterangan tertulis di situs PVRI, Sabtu, 6 Agustus.

Menurutnya, penolakan untuk menjalankan tindakan korektif dari Ombudsman RI membuktikan KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri menjadi antikoreksi. Selain itu, hal ini juga bisa melemahkan komisi antirasuah jika terus dibiarkan.

Apalagi, selama ini pelemahan terhadap KPK nyata terjadi dan berimbas pada rendahnya indeks persepsi korupsi (IPK). Bentuk pelemahan lainnya juga terlihat dari makin menurunnya kualitas dan jumlah penindakan yang dilakukan oleh komisi antirasuah saat ini dan terlibatnya Pimpinan KPK dalam berbagai konflik kepentingan.

"Ini harus dihentikan. Kami mendesak Presiden copot Ketua KPK," tegas Yansen.

Dirinya mengatakan masyarakat dapat berpartisipasi dalam petisi yang baru dimulai hari ini dengan mengunjungi www.change.org/pecatfirli dan bisa ikut membagikannya. Sementara berdasarkan pantauan VOI pada situs tersebut, sudah ada 84 orang yang menandatangani petisi tersebut hingga pukul 15.23 WIB.

Diberitakan sebelumnya, KPK menyatakan keberatan dan tak akan menjalankan tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman RI setelah ditemukan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang dalam proses pelaksanaan TWK.

Ada 13 poin keberatan KPK yang berujung pada penolakan melaksanakan tindakan korektif sesuai laporan Ombudsman RI.

Poin tersebut di antaranya KPK menganggap Ombudsman melanggar kewajiban hukum untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan.

KPK juga memandang legal standing pelapor, yaitu para pegawai yang dinyatakan tak lolos TWK bukan masyarakat penerima layanan KPK sebagai pihak yang berhak melapor ke Ombudsman.

Tak hanya itu, KPK menyebut tindakan korektif dari hasil laporan Ombudsman RI tak memiliki hubungan sebab akibat dan bertentangan antara kesimpulan dengan laporan akhir.