JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, pemerintah memutuskan penundaan pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Pemerintah, kata Mahfud, meminta agar DPR untuk lebih banyak berdialog dan menyerap lebih banyak aspirasi dari masyarakat terkait rancangan perundangan tersebut.
"Jadi pemerintah tidak mengirimkan surpres, tidak mengirimkan surat presiden untuk pembahasan itu. Itu aspek proseduralnya," kata Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 16 Juni.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menyatakan, Jokowi secara tegas menolak pembahasan RUU HIP dan berpendapat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 masih berlaku mengikat. "Tidak perlu dipersoalkan lagi," tegas dia.
Pemerintah menilai, rumusan Pancasila yang sah adalah yang telah disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang sah.
Nantinya, pemerintah bakal mengirimkan pemberitahuan kepada DPR RI melalui jalur resmi secara prosedural.
"Makanya Menkumham diajak ke sini nanti yang akan memberitahu secara resmi sesuai dengan prosedur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan bahwa kita minta DPR menunda untuk membahas itu, itu nanti Menkumham yang akan memberi tahu secara resmi (ke DPR)," jelasnya.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly yang mendampingi Menkopolhukam menegaskan Presiden Joko Widodo tak akan mengirimkan surpres untuk pembahasan rancangan perundangan yang merupakan insiatif DPR RI tersebut.
"Kami dari pemerintah sementara diminta sementara Presiden belum mengirimkan supres, kita berharap DPR mencoba menerima masukan-masukan," tegas Yasonna sambil menambahkan pemerintah punya waktu 30 hari untuk menyampaikan sikapnya secara resmi.
Sebelumnya, RUU HIP yang kini dibahas di Badan Legislasi DPR RI kini berpolemik. Rancangan yang diajukan dari usul DPR dan akan dibicarakan dengan pemerintah ini, dipermasalahkan oleh banyak pihak.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, melalui maklumatnya menyoroti beberapa hal seperti tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor 25/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rancangan perundangan tersebut.
"Kami pantas mencurigai bahwa konseptor RUU HIP ini adalah oknum-oknum yang ingin membangkitkan kembali paham dan Partai Komunis Indonesia. Oleh karena itu, patut diusut oleh pihak yang berwajib," kata MUI seperti dikutip dari maklumat MUI Pusat dan MUI se-provinsi Indonesia.
Selain itu, unsur dalam rancangan perundangan itu dianggap mengaburkan dan menyimpang dari makna Pancasila. Salah satunya pada bagian Trisila dan Ekasila yang dinilai sebagai upaya memecah Pancasila.
Hal ini terkandung dalam Pasal 7 RUU HIP yang berbunyi:
Ayat (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
Ayat (2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.
Ayat (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong.
Dalam maklumatnya, MUI mengatakan memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila adalah upaya mengaburkan makna Pancasila. "Dan secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila pertama," tulis mereka.
BACA JUGA:
Selain MUI, beberapa pengamat menilai pembahasan rancangan perundangan ini sebaiknya dihentikan. Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menyebut, RUU inisiatif DPR ini tampak ingin segera diselesaikan daripada rancangan perundangan lain yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020.
Hal ini menimbulkan pertanyaan baginya. Keadaan mendesak apa, yang membuat DPR ingin membahas dan mengesahkan perundangan ini di tengah pagebluk COVID-19?
"Kelas urgensi RUU ini oleh DPR dan Pemerintah sama dengan RUU Cipta Kerja. Bedanya kalau Cipta Kerja diusulkan Pemerintah sedangkan RUU HIP merupakan inisiatif DPR," kata Lucius kepada VOI, Senin, 15 Juni.
Dia membandingkan lebih jauh antara RUU Cipta Kerja dan RUU HIP ini. Kata dia, terlepas dari segala kontroversinya, RUU Cipta Kerja bisa dianggap penting sebagai upaya pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat dan menggenjot perekonomian nasional di masa pagebluk ini.
Hal ini sangat berbeda dengan RUU HIP yang merupakan usulan DPR. "Sangat sulit dijelaskan dijelaskan urgensinya dalam memenuhi kebutuhan rakyat," ungkap dia.
Menurut dia, RUU ini terkesan bakal mengatur sesuatu yang ideal, berisi gagasan-gagasan, dan pedoman terkait penerapan pancasila.
Haluan Pancasila memang dibutuhkan, menurutnya. Namun, menjadikannya sebagai perundang-undangan justru bisa jadi persoalan baru.
"Tidak ada yang salah dengan penjabaran itu, tetapi apa pentingnya penjabaran itu dibuatkan menjadi satu UU sendiri? Penjabaran itu, mestinya bisa dicantumkan dalam penjelasan semua UU yang dibuat DPR untuk menjelaskan asas pembuatan UU yang berdasarkan Pancasila," tegas dia.
Lucius juga memandang aneh mengenai rancangan perundangan yang muncul dari anggota dewan. Menurut dia, hal ini justru membuktikan bagaimana kacaunya parlemen membaca keperluan masyarakat yang harusnya jadi tugas mereka.
"Ketika mereka mendahulukan RUU yang isinya justru lebih banyak diarahkan bagi penyelenggara negara dan juga hanya menjelaskan Pancasila, maka mestinya ada sesuatu yang aneh di palemen kita," ungkapnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin juga berpendapat lebih baik pembahasan rancangan perundangan ini dibatalkan. Selain tak ada urgensinya di tengah masyarakat, RUU HIP ini dianggap dapat memanaskan suasana politik saat ini.
"Jika dipaksakan, bisa jadi banyak komponen masyarakat yang akan bergerak menolak RUU HIP tersebut. Jika benar turun, kan, akan jadi ramai," kata dia.
Apalagi RUU HIP ini dianggap menyerempet isu yang sensitif di negeri ini, "Soal isu kebangkitan PKI," pungkasnya.