Mempertanyakan Urgensi Pembahasan RUU HIP di Tengah Pagebluk COVID-19
Gedung MPR/DPR (Irvan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) jadi polemik. Sejumlah pihak menganggap pembahasan rancangan perundangan tersebut tidak perlu dilanjutkan. Sebab, RUU ini dianggap tak diperlukan oleh masyarakat.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menyebut, RUU inisiatif DPR ini tampak ingin segera diselesaikan daripada rancangan perundangan lain yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020.

Hal ini menimbulkan pertanyaan baginya. Keadaan mendesak apa, yang membuat DPR ingin membahas dan mengesahkan perundangan ini di tengah pagebluk COVID-19?

"Kelas urgensi RUU ini oleh DPR dan Pemerintah sama dengan RUU Cipta Kerja. Bedanya kalau Cipta Kerja diusulkan Pemerintah sedangkan RUU HIP merupakan inisiatif DPR," kata Lucius kepada VOI, Senin, 15 Juni.

Dia membandingkan lebih jauh antara RUU Cipta Kerja dan RUU HIP ini. Kata dia, terlepas dari segala kontroversinya, RUU Cipta Kerja bisa dianggap penting sebagai upaya pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat dan menggenjot perekonomian nasional di masa pagebluk ini.

Hal ini sangat berbeda dengan RUU HIP yang merupakan usulan DPR. "Sangat sulit dijelaskan dijelaskan urgensinya dalam memenuhi kebutuhan rakyat," ungkap dia.

Menurut dia, RUU ini terkesan bakal mengatur sesuatu yang ideal, berisi gagasan-gagasan, dan pedoman terkait penerapan pancasila. 

Haluan Pancasila memang dibutuhkan, menurutnya. Namun, menjadikannya sebagai perundang-undangan justru bisa jadi persoalan baru.

"Tidak ada yang salah dengan penjabaran itu, tetapi apa pentingnya penjabaran itu dibuatkan menjadi satu UU sendiri? Penjabaran itu, mestinya bisa dicantumkan dalam penjelasan semua UU yang dibuat DPR untuk menjelaskan asas pembuatan UU yang berdasarkan Pancasila," tegas dia.

Lucius juga memandang aneh mengenai rancangan perundangan yang muncul dari anggota dewan. Menurut dia, hal ini justru membuktikan bagaimana kacaunya parlemen membaca keperluan masyarakat yang harusnya jadi tugas mereka.

"Ketika mereka mendahulukan RUU yang isinya justru lebih banyak diarahkan bagi penyelenggara negara dan juga hanya menjelaskan Pancasila, maka mestinya ada sesuatu yang aneh di palemen kita," ungkapnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin juga berpendapat lebih baik pembahasan rancangan perundangan ini dibatalkan. Selain tak ada urgensinya di tengah masyarakat, RUU HIP ini dianggap dapat memanaskan suasana politik saat ini.

"Jika dipaksakan, bisa jadi banyak komponen masyarakat yang akan bergerak menolak RUU HIP tersebut. Jika benar turun, kan, akan jadi ramai," kata dia.

Apalagi RUU HIP ini dianggap menyerempet isu yang sensitif di negeri ini, "Soal isu kebangkitan PKI," tegasnya.

Pengurus Pusat PP Muhamadiyah juga menyatakan keberatannya terkait pembahasan rancangan perundangan tersebut. Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nasir menilai, DPR harusnya bisa lebih memperhatikan suara yang ramai di tengah masyarakat. Termasuk, suara penolakan terhadap rancangan perundangan tersebut.

"DPR harus lebih sensitif dan akomodatif terhadap arus aspirasi masyarakat Indonesia yang menolak RUU HIP dengan tidak memaksakan pembahasan RUU HIP untuk kelompok tertentu," tegasnya dalam keterangan tertulisnya.

DPR, sambung Haedar, memang memiliki wewenang untuk memutuskan kebijakan tanpa mendengar aspirasi publik. Namun, Haedar meminta DPR mengutamakan persatuan dan kemajuan Indonesia ketimbang golongannya sendiri.

Dia juga mengingatkan DPR punya tanggungjawab terhadap kekuasaan yang mereka miliki. Apalagi, kekuasaan adalah sebuah amanah. Menurutnya, PP Muhammadiyah tidak ingin pemerintah dan DPR mengulangi kesalahannya di masa lalu.

Sebab, perumusan kebijakan penerapan ideologi Pancasila kerap disalahgunakan oleh penguasa untuk dijadikan instrumen kekuasaan yang bersifat monolitik.

Setelah berpolemik, partai berubah sikap

RUU HIP didukung 7 dari 9 fraksi dan disahkan sebagai RUU inisiatif dalam rapat paripurna pada 12 Mei.

Dalam dokumen risalah rapat tertanggal 22 April di situs resmi dpr.go.id, tercatat Fraksi Partai Demokrat tak ikut dalam pembahasan rancangan yang berujung polemik ini. 

Sedangkan Fraksi PKS setuju dengan catatan, RUU ini harus memasukkan ketentuan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan dan Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

"Berdasarkan pendapat Fraksi-Fraksi (F-PDI Perjuangan, F-PG, F-PGerindra, F-PNasdem, F-PKB, F-PAN, dan F-PPP) menerima hasil kerja Panja dan menyetujui RUU tentang Haluan Ideologi Pancasila untuk kemudian diproses lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," tulis dokumen risalah rapat tersebut.

Meski awalnya setuju, Fraksi PAN memutuskan menarik dukungan mereka setelah polemik perundangan ini terjadi di tengah masyarakat. Mereka meminta agar rancangan ini dicabut dari program legislasi nasional.

"Fraksi PAN sekarang malah justru ingin mendesak seluruh pihak di DPR kembali mempertimbangkan ulang untuk melanjutkan pembahasan ini. Kalau perlu, segera mencabut dari Prolegnas," tegas Wakil Ketua Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay kepada wartawan.

Dia menjelaskan, PAN awalnya menyetujui rancangan perundangan itu jika mencatumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Namun, mendapati banyaknya kritik dari masyarakat, mereka memutuskan tak lagi mendukungnya.

Lagi pula, PAN tak sepakat jika Pancasila harus dijelaskan lewat aturan setingkat perundangan. Sebab, Pancasila sudah luhur sejak disepakati menjadi dasar negara Indonesia, "Yang jelas kita sudah merasa Pancasila itu final dan selama ini sejak tahun 1966 sampai hari ini kita tenang-tenang saja tidak ada masalah," katanya.

Sedangkan PDI Perjuangan lebih sepakat untuk menghapus pasal yang mengatur ciri pokok Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila dalam RUU HIP. 

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, sikap itu diambil setelah mereka mendengar aspirasi masyarakat terkait rancangan perundangan yang berpolemik tersebut.

"Dengan demikian, terhadap materi muatan yang terdapat dalam Pasal 7 RUU HIP terkait ciri pokok Pancasila sebagai Trisila yang kristalisasinya dalam Ekasila, PDI Perjuangan setuju untuk dihapus," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya.

Adapun isi Pasal 7 RUU HIP sebagai berikut:

Ayat (1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

Ayat (2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

Ayat (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong.

Sementara terkait tidak adanya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, Hasto mengatakan, PDIP telah menerima aspirasi tersebut. Partai berlambang banteng ini menyatakan RUU HIP melarang paham seperti komunisme dan paham lain selain Pancasila.

"Demikian halnya penambahan ketentuan menimbang guna menegaskan larangan terjadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme, juga setuju untuk ditambahkan," pungkasnya.