JAKARTA - Dalam sepekan terakhir aksi unjuk rasa bertajuk "Black Lives Matter" (BLM) masih mewarnai kota-kota besar di Swiss. Ribuan orang di Kota Zurich tampak turun ke jalan menyuarakan antirasisme supaya kebrutalan yang dialami oleh George Floyd tak terjadi lagi pada masa mendatang.
Walaupun ada aturan yang menegaskan melarang pertemuan di atas 300 orang dalam mencegah COVID-19, namun, pengunjuk rasa tetap berdatangan dan berbaris dengan rapi menyuarakan keadilan untuk Floyd pada Sabtu, 13 Juni. Melansir CNA, pengunjuk rasa yang datang tampak seragam mengenakan pakaian hitam dan memenuhi jalanan-jalanan di Kota Zurich.
Psan-pesan antirasisme melalui poster banyak bertebaran. Beberapa di antaranya terdapat pesan “Black Lives Matter”, “Rasisme adalah pandemi”, dan pesan yang merujuk kata-kata terakhir mendiang Floyd, “Aku tak bisa bernapas.”
Tak hanya membawa pesan dari kematian Floyd saja. Sejumlah pemrotes pun turut membawa poster dari Mike Ben Peter yang juga merupakan warga kulit hitam yang terbunuh karena kebrutalan polisi di Lausanne. Cara meninggalnya pun mirip dengan Floyd yaitu dilumpuhkan ke tanah.
Oleh karena itu, penyelenggara unjuk rasa mengungkap aksi kali ini berlangsung untuk menunjukkan kepedulian yang lebih luas dalam menentang kekerasan polisi. Apalagi, kaitan kebrutalan dan kekerasaan sering kali menjadi ajian polisi menunjukkan sifat rasisnya. Tak hanya di Amerika, melainkan di Swiss juga.
Sebagai langkah pencegahan terhadap COVID-19 yang masih mewabah, empunya pemerintah telah mendirikan beberapa blokade di sekitar alun-alun kota. Hal itu disinyalir agar warga Swiss yang ikut aksi dapat memakai hand sanitizer terlebih dahulu dan mewajibkan mereka mengenakan masker sebelum ikut dalam kerumunan.
Aksi yang semula berjalan damai, lama-kelamaan mulai tak kondusif karena beberapa ratus orang mulai melemparkan batu, botol dan benda-benda lainnya ke polisi. Alhasil, seorang petugas terluka dan sejumlah orang ditangkap oleh kepolisian Zurich pada aksi tersebut.