Bagikan:

JAKARTA - Ombudsman RI menemukan penyimpangan prosedur dalam proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Temuan tersebut disampaikan Ombudsman RI setelah tim bentukan mereka, yaitu Tim 6 mengusut dan meminta keterangan dari sejumlah pihak selama kurang lebih dua bulan. Pengusutan dilakukan setelah perwakilan 75 pegawai komisi antirasuah mengadukan dugaan maladministrasi bebeberapa waktu lalu.

"Secara umum maladministrasi itu dari hasil pemeriksaan memang kita temukan," kata Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih dalam konferensi pers secara daring yang ditayangkan di akun YouTube Ombudsman RI, Rabu, 21 Juli.

Dia mengatakan, lembaganya fokus memeriksa dugaan maladministrasi di tiga isu utama. Pertama dalam rangkaian proses pembentukan kebijakan proses peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Berikutnya dalam proses pelaksanaan rangkaian alih status. Terakhir, dugaan maladministrasi pada tahapan penetapan hasil asesmen TWK.

"Tiga hal ini yang oleh Ombudsman RI ditemukan potensi maladminstasi. Hasil pemeriksaan sudah kami sampaikan kepada Ketua KPK (Firli Bahuri), Kepala BKN (Bima Haria Wibisana), dan Presiden Joko Widodo agar penemuan maladministrasi yang didapati bisa ditindaklanjuti dan diambil langkah selanjutnya," ungkapnya.

Sejumlah temuan Ombudsman terkait maladministrasi TWK

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng memaparkan dalam tahapan pembentukan kebijakan ditemukan penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang pada pelaksanaan rapat harmonisasi.

Di mana dalam pelaksanaan rapat harmonisasi tersebut, hadir pimpinan kementerian dan lembaga yang harusnya dikoordinasikan serta dipimpin oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundangan-undangan.

"Sementara pada penyalahgunaan wewenang, penandatanganan berita acara pengharmonisasian, dilakukan oleh pihak yang justru tidak hadir pada rapat harmonisasi," ungkap Robert.

"Sedangkan yang hadir saat itu adalah Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri PANRB. Yang tandatangan adalah Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal PP Kementerian Hukum dan HAM," imbuhnya.

Selain itu, KPK telah melakukan penyimpangan prosedur dengan tidak menyebarluaskan informasi rancangan peraturan melalui sistem internal mereka. Padahal, seharusnya pimpinan mengabarkan pada para pegawai segala perubahan yang terjadi dalam proses rapat harmonisasi.

Selanjutnya, komisi antirasuah bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) didapati melakukan backdate atau memundurkan tanggal nota kesepahaman dan kontrak swakelola.

Robert menjelaskan, nota kesepahaman pengadaan barang atau jasa melalui swakelo antara KPK dan BKN, ditandatangani pada 8 April 2021, dan kontrak swakelola KPK dan BKN ditandatangani pada 26 April 2021. Tapi, penandatanganan ini justru dibuat seakan-akan terjadi pada 27 Januari.

Sehingga, pelaksanaan TWK pada 9 Maret belum melalui penandatanganan nota kesepahaman dan kontrak swakelola.

Lebih lanjut, Ombudsman juga menyebut BKN inkompeten dalam melaksanakan tes alih status tersebut. Penyebabnya, badan itu tak memiliki komponen berupa alat ukur, instrumen dan asesor, serta meminta fasilitas asesmen pada lima lembaga lain.

Sehingga, alih-alih menjalankan, BKN harusnya menyampaikan kepada KPK sebagai pengguna jasa dalam proses asesmen.

Tak sampai di sana, BKN juga tak menguasai salinan dokumen Keputusan Panglima Nomor Kep/1078.XVII/2016 sebagai dasar pelaksanaan TWK.

"Dalam rangkaian proses ini BKN kemudian hanya menjadi observer, hanya menjadi pemantau. Sementara pelaksana asesmen TWK pada akhirnya adalah para asesor yang berasal dari lima lembaga," ujarnya.

Adapun lima lembaga yang dimaksud adalah Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS TNI), Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat, Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Pegawai nonaktif KPK terkejut dengan temuan Ombudsman RI

Temuan tersebut kemudian ditanggapi perwakilan 75 pegawai yang dinyatakan tak lolos TWK dan dinonaktifkan. Rasamala Aritonang mengatakan, pihaknya mengaku terkejut dan tak menyangka temuan yang diumumkan Ombudsman RI justru membongkar sesuatu yang lebih dalam dibandingkan dugaan dan laporan yang disampaikan sebelumnya.

"Kami merasa terkejut sebab ternyata temua Ombudsman membongkar sesuatu yang lebih dalam dari yang kami perkirakan pada awal laporan," ungkapnya dalam konferensi pers secara daring.

Rasamala menyebut, laporan mereka awalnya hanya memproyeksikan adanya sejumlah penyimpangan administratif yang sederhana. "Tapi hasil pemeriksaan Ombudsman ternyata menemukan pelanggaran hukum yang lebih serius oleh Pimpinan KPK dalam melaksanakan proses alih status pegawai KPK," tegasnya.

Merujuk dari temuan tersebut, ada tiga kata kunci yang ditanggapi dengan serius oleh puluhan pegawai di antaranya maladministrasi, pelanggaran prosedural, dan penyalahgunaan wewenang.

Karenanya, para pegawai ini memperhitungkan upaya hukum yang akan diambil untuk mengusut pelanggaran serius tersebut. Hal ini penting untuk mengetahui motif dibalik tindakan yang dilakukan oleh pimpinan KPK dan pihak terkait.

Sebab, tindakan mereka tak hanya berimplikasi pada masing-masing pegawai yang dinyatakan tak lolos TWK tapi juga pada upaya pemberantasan korupsi yang lebih luas.

"Misalnya apa motif Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Perundangan Kemenkumham yang menandatangani berita acara yang rapatnya tidak mereka hadiri melainkan dihadiri oleh pimpinan lembaga? Dan apa motif para pimpinan lembaga dalam hal ini Ketua KPK, Kepala BKN, KemenPANRB, Kepala LAN, dan Kemenkumham yang tidak mau menandatangani rapat yang mereka hadiri," ungkap Rasamala.

Selain itu, para pegawai ini juga mempertanyakan motif Kepala BKN mengajukan diri untuk melaksanakan TWK meski tak berkompeten bahkan tidak memiliki instrumen pelaksanaan. "Termasuk misalnya, dokumen kontrak yang tanggalnya sengaja dibuat mundur atau backdate," ujarnya.

"Motif ini perlu didalami serius apa tujuannya dan unsur kesengajaan di dalamnya. Pendalaman lebih lanjut ini penting untuk melihat adanya indikasi dan berbagai kemungkinan termasuk potensi pelanggaran," imbuh Rasamala.

Rasamala berharap langkah korektif yang sudah disampaikan Ombudsman terhadap dua lembaga yaitu KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) bisa dijalankan. Apalagi, secara etik moral apa yang disampaikan tersebut mengikat.

"Demikian pula secara hukum. Hasil temuan tersebut adalah keputusan hukum yang diterbitkan lembaga negara yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak terutama lembaga penegak hukum," pungkasnya.

Sebagai informasi, Tes Wawasan Kebangsaan diikuti 1.351 pegawai KPK. Dari jumlah tersebut, 1.274 orang dinyatakan memenuhi syarat dan diangkat sebagai ASN.

Sedangkan 75 pegawai termasuk penyidik senior Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid, dan Direktur PJKAKI Sujarnarko yang akan pensiun juga dinyatakan tak memenuhi syarat (TMS). Sementara dua pegawai lainnya tak hadir dalam tes wawancara.