TWK Cacat Administrasi, Ombudsman: 75 Pegawai Harus Dialihkan Jadi ASN
Gedung KPK/VOI

Bagikan:

JAKARTA - Ombudsman RI menyampaikan langkah korektif untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). 

Hal ini menyusul adanya temuan cacat atau maladministrasi dalam Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK.

Salah satu langkah korektif tersebut adalah meminta 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus TWK tetap dialihkan statusnya menjadi ASN. 

Tindakan ini merujuk Undang-Undang KPK, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020, pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU KPK, dan pernyataan Presiden Joko Widodo.

"Sebagaimana kemudian ditemukan (ORI) dalam proses pelaksaan asesmen, maka terhadap 75 pegawai tersebut dialihkan statusnya menjadi pegawai ASN sebelum tanggal 30 Oktober 2021," kata Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jawen dalam konferensi pers penyampaian hasil akhir pemeriksaan aduan pegawai KPK yang ditayangkan secara daring, Rabu, 21 Juli.

Tindakan berikut yang harus dilakukan KPK adalah memberikan penjelasan kepada pegawai perihal konsekuensi TWK dalam bentuk dokumen yang sah. Termasuk hasil asesmen tiap pegawai.

Alasannya, jika asesmen disebut sebagai alat untuk mengukur seseorang maka pihak yang menjalankan tes tersebut harus mengetahui hasilnya. Tujuannya, agar perbaikan bisa dilakukan oleh para pegawai berdasarkan hasil yang ada.

Robert mengatakan langkah korektif ini disampaikan agar hasil TWK menjadi masukan untuk perbaikan dan tidak menjadi dasar memberhentikan 75 pegawai KPK. "Terhadap pegawai KPK yang dinyatakan TMS diberikan kesempatan untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan," ungkapnya.

Berikutnya, Ombudsman RI juga menyampaikan langkah korektif yang harus dilakukan BKN. Langkah tersebut di antaranya menelaah aturan yang ada dan menyusun peta jalan terkait mekanisme, instrumen, dan penyiapan asesor terhadap peralihan status pegawai menjadi ASN.

Berbagai langkah tersebut, kata Robert, diharap dapat dilakukan oleh pimpinan kedua lembaga. Dua lembaga tersebut diberikan waktu selama 30 hari untuk merespons dan akan dilaksanakan monitoring dari Ombudsman.

Jika dalam 30 hari langkah korektif ini tak dilakukan maka Ombudsman akan memberikan rekomendasi yang harus dilaksanakan dalam waktu 60 hari dan tak ada perpanjangan waktu lagi.

Apabila dua langkah itu tidak dijalankan KPK dan BKN maka Presiden Joko Widodo (Jokowi) disarankan mengambil alih kewenangan pejabat pembina kepegawaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain saran ambil alih, ORI menilai Jokowi perlu juga membina Ketua KPK, Firli Bahuri; Kepala BKN, Bima Haria Wibisana; Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly; Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Adi Suryanto; dan Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo.

"Presiden perlu melakukan pembinaan terhadap Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menkumham serta Menpan RB bagi perbaikan kebijakan dan administrasi kepegawaian yang berorientasi kepada asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik," tegas Robert.

Presiden Jokowi, sambung Robert, juga diminta melakukan monitoring kepada BKN khususnya terkait penyusunan peta jalan manajemen kepegawaian, khususnya mekanisme, instrumen, dan penyiapan asesor peralihan status pegawai menjadi ASN di masa depan.

Meski begitu, Ombudsman berharap saran ini tidak sampai ke Presiden Jokowi. "Jika tidak, maka kemudian akhirnya ini kembali kepada Presiden sebagai pemangku tertinggi kekuasaan administrasi pemerintah, kekuasan eksekutif dan PPK (pejabat pembinaan kepegawaian) tertinggi secara nasional," pungkasnya.