Perintah Investigasi Pajak Digital dari Trump: Prancis dan India Meradang, Indonesia <i>No Comment</i>
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Beberapa negara mengecam investigasi yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) terhadap penerapan pajak untuk layanan digital di seluruh dunia. Investigasi itu --menurut salah satu negara yang mengecam, Prancis-- bertentangan dengan seruan persatuan antara negara-negara G7.

"Ada kontradiksi nyata antara AS yang menuntut persatuan dalam G7 dengan kemungkinan sanksi perdagangan baru," kata Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire setelah konferensi G7, dikutip dari Bloomberg, Jumat 5 Juni.

G7 adalah pertemuan antara negara-negara terkuat industri, secara politis dan ekonomis di dunia. Negara-negara tersebut adalah: Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, Amerika Serikat dan Kanada. Uni Eropa hadir sebagai anggota ke delapan.

Pemerintah Prancis dan AS sebelumnya menyepakati kesepakatan perdamaian awal tahun ini mengenai perselisihan pajak layanan digital Prancis. Dalam perjanjian tersebut, Washington sepakat menunda sanksi dan Paris menangguhkan pengenaan pajak digital.

Prancis akan kembali menarik pajak pada akhir tahun jika tidak ada kesepakatan dalam pembicaraan di Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tentang aturan pajak global baru.

"Kami tidak akan menyerah pada apapun mengenai pajak digital. Saya telah meminta negara-negara G7 untuk mempercepat perundingan di OECD untuk mendapatkan solusi internasional pada akhir 2020," kata Le Maire.

Sementara itu, India akan mempertahankan keputusan memperluas pajak layanan digital meskipun AS melancarkan penyelidikan. Menurut sumber yang mengetahui masalah itu, Pemerintah India tidak sedang mengubah pendirian untuk memasukkan dagang elektronik dalam lingkup objek pajak.

Pajak yang lebih luas diumumkan dalam anggaran terbaru Perdana Menteri Narendra Modi pada Februari dan telah berlaku efektif. Sambil mempertahankan kebijakan pajaknya, India tetap akan bernegosiasi dengan AS untuk mencegah pengenaan tarif balasan jika United State Trade Representative menyimpulkan New Delhi mendiskriminasi perusahaan AS.

Adapun pemerintah Indonesia, tetap melanjutkan pembahasan aturan teknis pengenaan pajak pertambahan nilai atas transaksi barang dan jasa digital dari luar negeri. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Febrio Kacaribu mengaku belum ingin berkomentar lebih lanjut mengenai pernyataan Trump.

Febrio bilang, permasalahan ini merupakan hal yang strategis. Sehingga, pihaknya belum dapat memberikan respons mengenai investigasi pajak digital tersebut.

"Terkait itu kami belum bisa merilis pernyataan," tuturnya, dalam video conference bersama wartawan, Kamis, 4 Juni.

Meksi begitu, Febrio mengatakan, secepatnya pemerintah akan segera mengeluarkan pernyataan resmi mengenai hal tersebut.

Sekadar informasi, investigasi ini akan dilakukan pada Austria, Brasil, Republik Ceko, Uni Eropa, India, Indonesia, Italia, Spanyol, Turki dan Inggris. Saat ini, Departemen Perdagangan AS telah meminta konsultasi dengan pemerintahan negara-negara tesebut.

Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan, pemerintah telah menetapkan pemungutan PPN atas penjualan barang dan jasa digital yang dilakukan melalui pedagang atau penyedia jasa luar negeri. Aturan ini berlaku mulai 1 Juli 2020.

Pemungutan PPN ini, akan dilakukan paling cepat dimulai pada Agustus 2020. Ini diharapkan memberi cukup waktu baik bagi para pelaku usaha produk digital luar negeri maupun DJP agar dapat mempersiapkan sistem pemungutan, pembayaran, dan pelaporan yang mudah, sederhana, dan efisien.

Dengan berlakunya ketentuan ini, maka PPN dikenakan kepada produk digital seperti langganan streaming musik, streaming film, aplikasi, games digital, serta jasa online asing. DJP akan memperlakukan sama seperti berbagai produk konvensional maupun digital yang dijual oleh pelaku usaha dalam negeri.