Peneliti: Pajak Digital Potensi Penerimaan Keuangan Negara Saat Pandemi COVID-19
Seorang warga mengakses layanan film daring melalui gawai (Foto: Nova Wahyudi/Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina menyatakan, opsi pemberlakuan pajak digital merupakan potensi sekaligus tantangan bagi penerimaan negara terutama saat pandemi COVID-19.

"Pengenaan pajak digital akan memberikan rasa keadilan karena perusahaan asing akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan perusahaan dalam negeri yang memang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Hal ini sekaligus untuk menciptakan level playing field dan kompetisi yang sehat," kaya Siti Alifah Dina dilansir Antara, Jumat, 24 Juli.

Namun, kata Dina, pengenaan pajak digital tidak hanya menjadi masalah di Indonesia tapi juga global.

Dia mengingatkan, sampai saat ini, OECD masih merumuskan landasan bersama antar negara. Tindakan sepihak seperti Pajak Layanan Digital di Prancis atau rencana Indonesia untuk memperkenalkan Pajak Transaksi Elektronik sangat kompleks karena potensi gangguannya terhadap perdagangan internasional dan tensi dari mitra dagang.

"Diperlukan analisis yang mendalam terhadap kemungkinan-kemungkinan negatif yang muncul dari dampak pengenaan pajak terhadap hubungan bisnis Indonesia dengan negara lain, di samping persiapan teknis pengambilan pajak perusahaan-perusahaan tersebut," katanya.

Pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 48 Tahun 2020 dan turunannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-12/PJ/2020 yang menetapkan besaran 10 persen untuk dikumpulkan dan disetorkan oleh perusahaan dengan sistem elektronik dengan kriteria tertentu mulai Agustus nanti.

Kriteria tersebut yaitu berdasarkan nilai transaksi dengan minimal Rp600 juta dan jumlah traffic atau akses di Indonesia sebesar minimal 12.000 per tahun.

"Hal ini mengundang debat terutama dari perusahaan sistem online luar negeri yang beroperasi di Indonesia. Apalagi, di masa penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti saat ini. Pergeseran pola aktivitas masyarakat telah berubah dari konvensional menjadi digital, contohnya dari menonton di bioskop menjadi melalui platform luar negeri penyedia konten film digital, seperti Netflix," ucapnya.

Ia mengungkapkan, data dari lembaga Statista memproyeksikan pengguna Netflix di Indonesia mencapai 906.800 pengguna sedangkan pendapatan Netflix berada pada rentang Rp44,43 miliar - Rp153,25 miliar per bulan sehingga dapat diestimasi potensi PPN berkisar antara Rp4,44 miliar - Rp15,32 miliar per bulan.

Dina menyatakan, salah satu peran pajak adalah sebagai sumber tambahan penerimaan negara, di mana penerimaan negara ini juga cukup penting untuk mengembalikan kinerja perekonomian Indonesia setelah COVID-19.

"Contohnya, untuk anggaran lima skema perlindungan dan pemulihan UMKM yang dicanangkan pemerintah April lalu. Hanya dari Netflix saja, Indonesia akan mendapatkan setidaknya Rp53,28 miliar per tahun, yang dapat dialokasikan pada sektor prioritas," ujarnya.

Namun, ia berpendapat bahwa akan lebih baik jika pemerintah melihat penerapan praktik terbaik pengambilan pajak di negara lain, misalnya Australia, Prancis, dan Italia, di mana iklim bisnis tidak terganggu dan investasi tetap masuk.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan hingga saat ini belum ada kesepakatan terkait pajak digital dalam negara-negara yang tergabung pada G20 karena Amerika Serikat (AS) belum setuju.

“Sebetulnya diharapkan Juli sudah ada kesepakatan tapi dengan AS lakukan langkah untuk tidak menerima dulu maka perlu upaya tambahan,” katanya dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Senin, 20 Juli.