JAKARTA - George Floyd yang tewas setelah disiksa polisi Minneapolis, Minnesota, AS, teruji positif COVID-19 berdasarkan hasil autopsi. Namun infeksi virus corona itu tidak menjadi penyebab kematiannya.
Dilansir dari Reuters, fakta tersebut berdasarkan laporan setebal 20 halaman yang dipublikasikan Kantor Pemeriksaan Medis, wilayah Hennepin pada Rabu 3 Juni.
Sebelumnya, Floyd pernah dinyatakan positif virus tersebut berdasarkan tes PCR pada 3 April, atau hampir 8 minggu sebelum kematiannya.
Kepala penguji medis Hennepin Dr. Andrew Baker, menyimpulkan bahwa hasil tes postmortem, kemungkinan besar Floyd positif dari infeksi sebelumnya. Tapi, tidak ada indikasi coronavirus menyebabkan kematian Floyd.
Sementara, salah satu pemeriksa medis autopsi Floyd, Michael Baden mengatakan kepada New York Times bahwa pejabat daerah tidak pernah menegaskan Floyd positif COVID-19.
Dalam laporan juga tersebut dikatakan, penyebab kematian Floyd adalah berhenti jantung (cardiopulmonary arrest) ketika lehernya ditindih oleh petugas polisi.
Selain itu, ada sejumlah 'penyebab lain' kematian Floyd, di antaranya penyakit jantung, tekanan darah tinggi, penggunaan obat keras pereda nyeri "fentanyl", dan konsumsi metamfetamin.
Kasus tewasnya Floyd dianggap pembunuhan. Empat orang polisi telah dipecat atas peristiwa ini.
Beberapa di antaranya berperan sebagai perekam video. Sementara, Derek Chauvin, polisi yang menindih Floyd, telah jadi tersangka.
BACA JUGA:
Sebelumnya, viral video menunjukkan petugas menggunakan lututnya untuk menekan leher Floyd ke jalan selama hampir 9 menit. Sementara, Floyd tampak terengah-engah dan berulang kali mengeluh, "tolong, saya tidak bisa bernapas." Beberapa saat kemudian, Floyd dinyatakan meninggal dan dibawa ke rumah sakit.
Video ini direspons masyarakat dunia. Aksi Black Lives Matter pun terjadi di berbagai negara. Mereka melakukan aksi turun ke jalan untuk memprotes aksi polisi yang membunuh Floyd.