JAKARTA - Myanmar menghadapi kondisi mencekam, setelah lonjakan kasus infeksi COVID-19 menyebabkan ruamh sakit kewalahan dan warga tidak bisa mengakses oksigen medis. Kini, pemakaman dan rumah kremasi juga kewalahan dengan gelombang jenazah pasien COVID-19.
Pemakaman di kota terbesar Myanmar, Yangon dipenuhi dengan mayat ketika negara itu dicengkeram oleh gelombang baru virus corona, di tengah pergolakan politik pasca-kudeta yang telah melumpuhkan sistem kesehatan masyarakat negara itu.
Kurangnya akses terhadap oksigen disebut menjadi penyebab mayoritas kematian dalam gelomban kali ini, karena pasien tidak mendapatkan dukungan oksigen tepat waktu setelag virus mengganggu aliran oksigen dalam tubuh, kata kelompok amal.
Empat pemakaman besar di Yangon telah menyaksikan salah satu minggu tersibuk dalam sejarah mereka, mengkremasi lebih dari 700 mayat pada Hari Kamis pekan lalu, dan ratusan mayat pada hari-hari sebelumnya. Sejak itu, sekitar 1.000 orang dilaporkan meninggal di Yangon, sementara kuburan tidak dapat lagi menangani jumlah jenazah yang datang setiap hari.
“Kami bahkan tidak bisa menghitung pasien yang meninggal karena COVID-19 karena kekurangan oksigen. Kami sangat sibuk sehingga kami harus tetap memakai alat pelindung diri (APD) sepanjang hari,” kata seorang pekerja amal dari Hlaing Tharyar," seperti mengutip The Irrawaddy Minggu 18 Juli.
Karena kelompok amal yang menyediakan layanan pemakaman gratis kewalahan, mereka yang menyediakan layanan ambulans harus membantu mengangkut orang mati ke pemakaman di Yangon. Sementara, untuk mendapatkan layanan ambulans juga cukup sulit, menurut para pekerja amal.
"Di Pemakaman Yayway, saya melihat banyak mayat diletakkan di lantai (menunggu kremasi). Situasinya sama di Pemakaman Kyesu. Orang bahkan harus mengantri untuk mendapatkan izin kremasi," ungkap seorang pekerja amal dari East Dagon.
Setelah kuburan-kuburan besar terbengkalai, rezim militer mengeluarkan permintaan yang meminta orang-orang untuk mengirim mayat ke kuburan terdekat dari rumah mereka.
Pejabat pemakaman mengkonfirmasi jumlah yang lebih tinggi dari biasanya, tetapi menolak untuk mengungkapkan jumlah pasti kremasi dan penguburan yang diadakan setiap hari.
"Jenazah harus dikirim ke kuburan yang berbeda, tergantung di mana para korban tinggal. Jumlah jenazah sedikit meningkat dibandingkan masa lalu," jelas seorang pejabat pemakaman Yayway.
Yangon paling terpukul oleh gelombang ketiga pandemi, dengan lebih dari 10.000 kasus dilaporkan di kota itu, menurut angka yang dirilis oleh rezim. Angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi.
Sebab, banyak orang merawat diri mereka sendiri di rumah karena tidak bisa mendapatkan tempat tidur di salah satu rumah sakit kota, akibat kekurangan staf dan tidak lengkap atau pusat COVID-19 yang dijalankan oleh rezim, di samping masyarakat tidak memercayai sistem kesehatan rezim militer Myanmar.
Rezim militer Myanmar mengatakan, jumlah korban tewas harian antara 100 dan 200 secara nasional sejak 13 Juli, tetapi pekerja amal melaporkan melihat ratusan mayat di Pemakaman Yayway saja. Sebuah kelompok amal di Yangon mengatakan, pihaknya menangani sekitar 60 mayat per hari minggu lalu.
Hampir 90 persen negara tersebut telah terkena dampak gelombang ketiga infeksi virus corona di Myanmar, dengan 296 dari 330 kotapraja secara nasional melaporkan kasus COVID-19 sejak Mei, dan tiga varian mematikan, yakini varian Delta, Alphadan Kappa terdeteksi di negara tersebut.
BACA JUGA:
Untuk diketahui, data Kementerian Kesehatan dan Olahraga yang dikendalikan junta menyebut, lebih dari 78.000 kasus dilaporkan dengan 1.405 kematian antara 1 Februari hingga 16 Juli, dengan sebagian besar kematian tercatat sejak pertengahan Juni.
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.