JAKARTA - Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (P2ET) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang mengembangkan ventilator yang diberi nama Sivenesia (Smart Innovation Ventilator Indonesia) dengan dua mode operasi CPAP dan BiPAP. Pengembangan ventilator ini untuk membantu penanganan COVID-19.
"CPAP dan BiPAP ini tergolong dalam sistem pengobatan non-invasif (tanpa pembedahan) yang paling efektif dan merupakan pilihan pertama serta paling banyak digunakan untuk pasien yang mengalami gangguan pernapasan," kata peneliti P2ET LIPI Eko Joni Pristianto dikutip Antara, Sabtu, 17 Juli.
Ketersediaan alat bantu pernapasan seperti ventilator menjadi sangat penting dalam membantu menangani jumlah pasien COVID-19 kritis yang semakin meningkat di setiap fasilitas kesehatan. Peneliti Eko beserta tim saat ini sedang mengembangkan ventilator itu.
Mode CPAP (Continuous Positive Airway Pressure) merupakan ventilator yang menghasilkan satu level tekanan udara positif yang konstan dan terus menerus diberikan kepada pasien dengan tujuan supaya saluran pernapasan pasien tetap terbuka.
Sedangkan mode BiPAP (Bi-level Positive Airway Pressure) merupakan ventilator yang dapat menghasilkan dua level tekanan udara positif yang berbeda, yaitu pada saat menarik napas (inspirasi) dan pada saat menghembuskan napas (ekspirasi), sehingga lebih nyaman digunakan oleh pasien, karena akan mengikuti ritme pernapasan dengan tetap terjaga tekanan di akhir napas atau PEEP (Positive end-expiratory pressure) yang diperlukan.
Menurut Eko, ventilator dengan mode CPAP dan BiPAP tersebut biasanya disarankan oleh dokter untuk pasien penderita sleep apnea (gangguan tidur serius), yaitu gejala dimana sistem pernapasan pasien akan berhenti beberapa saat selama tidur. Gejala itu tentu saja akan mengakibatkan kualitas tidur menjadi buruk.
Mode ventilator CPAP atau BiPAP merupakan mode pada ventilator yang bekerja berdasarkan tekanan (pressure based), yang bertujuan untuk mencegah tersumbatnya jalan napas seperti gejala yang banyak dialami oleh penderita COVID-19, serta untuk melatih otot-otot pernapasan sebelum pasien bisa bernapas secara normal.
Eko menuturkan tujuan dari penggunaan ventilator tersebut adalah menjaga supaya saluran pernapasan pasien tetap terbuka, sementara perbedaan mendasar dari mode CPAP dan BiPAP adalah masalah kenyamanan pada saat pasien bernapas.
Pada mode CPAP, ventilator akan bekerja dengan memberikan aliran udara bertekanan positif secara terus menerus (konstan) melalui selang ke hidung dan atau melalui mulut, sehingga bisa menyebabkan kelelahan (tidak nyaman) pada pasien terutama pada saat proses menghembuskan napas (expirasi), pasien harus menggunakan lebih banyak tenaga atau kekuatan untuk melawan tekanan tersebut.
BACA JUGA:
Masalah itu sangat mengganggu terutama bagi pasien tertentu yang memiliki penyakit neuromuscular (kelompok gangguan ekstensif yang ditandai dengan adanya perubahan motorik yang dihasilkan oleh cedera atau gangguan syaraf).
Sementara untuk mode BiPAP, ventilator jenis itu akan memberikan tekanan yang berbeda pada saat pasien bernapas (inpirasi) dan pada saat pasien menghembuskan napas (expirasi) sehingga pasien akan lebih nyaman dalam bernapas dengan tetap terjaga tekanan PEEP yang diperlukan.
"Karena ventilator ini merupakan peralatan medis yang berfungsi sebagai alat bantu pernapasan, penggunaan ventilator mode ini harus dengan saran, petunjuk dan pantauan dokter," tuturnya.
Sivenesia telah melalui serangkaian tahapan pengujian, di antaranya adalah pengujian skala laboratorium sebagai tahap awal pengujian, di mana pengujian menitik beratkan kepada masalah teknis dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan.
"Uji fungsi telah kami lakukan di Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan RI dan telah lulus uji serta mendapat sertifikasi dengan Nomor YK.01.03/XLVIII.2/PK/2021 (025 untuk CPAP dan 026 untuk BiPAP)," ujarnya.
Uji fungsi tersebut meliputi serangkaian pengujian, seperti kinerja sistem (performance), ketahanan sistem (endurance) dan keamanan kelistrikan selama 21 hari tanpa berhenti.
"Tahap berikutnya, kami akan melakukan uji klinis Sivenesia sebagai tahapan selanjutnya untuk mendapatkan izin edar sebagai wujud diseminasi hasil penelitian kami," tutur Eko.