Pemerintah Gelar Dialog dengan Ulama Jelang Iduladha
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memimpin dialog daring bersama ulama mengenai penanggulangan COVID-19 jelang Iduladha (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Kantor Staf Presiden (KSP) menyelenggarakan acara silaturahmi dan dialog dengan sejumlah ulama di Indonesia secara daring, di Jakarta, Kamis.

Dialog dilakukan untuk menyamakan persepsi dalam mengantisipasi lonjakan aktivitas dan mobilitas masyarakat menjelang perayaan Iduladha 1442 Hijriyah pada Selasa, 20 Juli mendatang.

“Kami ingin menyampaikan bahwa pemerintah dalam menghadapi situasi pandemi ini tidak bisa sendirian, partisipasi seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan. Oleh karena itu, kami mengundang para tokoh agama untuk turut berpartisipasi dalam penanggulangan COVID-19,” ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam siaran pers di Jakarta, dilansir Antara, Kamis, 15 Juli.

Pertemuan ini dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dan sepuluh ulama dari penjuru Indonesia.

Kesepuluh ulama itu adalah Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan, Prof Dr Azyumardi Azra, KH Ust. Das’ad Latif, KH. Ahmad Muwafiq, Nyai Badriyah Fayumi, KH. Cholil Nafis, Ust. Yusuf Mansur, Prof Dr Abdul Mu’ti, Gus Reza Ahmad Zahid dan Prof Dr Masyitoh Chusnan.

Moeldoko menjelaskan tujuan dari dialog bersama para ulama ini adalah untuk menjalin komunikasi yang erat dan terbuka antara pemerintah sebagai umaro dengan ulama untuk menumbuhkan sikap saling percaya satu dengan yang lain.

Selain itu, pemerintah juga ingin mendapatkan input dari masyarakat, terkait penanganan pandemi dan implementasi PPKM Darurat.

“Kita juga ingin mengajak para tokoh agama untuk membangun narasi publik yang positif dan konstruktif sebagai pembentuk opini publik dalam rangka meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kehendak masyarakat dalam menekan lonjakan kasus COVID-19,” ujar Moeldoko.

Untuk menghindari lonjakan aktivitas dan kerumunan masyarakat di luar rumah, pemerintah melalui Kementerian Agama telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 17/2021 tentang Peniadaan Sementara Peribadatan di Tempat Ibadah, Malam Takbiran, Shalat Iduladha, dan Juknis Pelaksanaan Qurban tahun 2021 di wilayah PPKM Darurat.

Pembatasan ini tidak dilakukan tanpa alasan mengingat data dari Gugus Tugas Nasional COVID-19 pada Rabu 14 Juli 2021 menunjukkan adanya penambahan kasus harian COVID-19 yang mencapai angka 54.517 kasus positif, yang merupakan rekor tertinggi selama pandemi.

“Hal ini harus menjadi alarm bahaya bagi kita semua,” tegas Moeldoko.

Merespon hal itu, para ulama yang hadir pada rapat itu menyatakan kesanggupannya untuk berpartisipasi dalam penanggulangan COVID-19 terutama menjelang perayaan Iduladha. Caranya dengan menyerukan kepada umat tentang pentingnya menjaga protokol kesehatan dan memperhatikan situasi genting pandemi.

Para tokoh agama juga memberikan masukan kepada pemerintah, terutama terkait dengan narasi yang dibangun oleh pemerintah yang seharusnya dibuat dalam bentuk yang lebih sensitif.

“Pemerintah perlu menggandeng masyarakat dan tokoh lokal demi menghindari istilah seperti pembatasan masjid atau pembatasan ibadah yang menyulut gelombang penolakan,” ujar Pengasuh Pesantren Mahasina Bekasi Nyai Badriyah Fayumi.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu'ti menambahkan perlunya narasi penyejuk yang memperlihatkan sensitivitas terhadap problem yang dihadapi masyarakat.

“Aparat jangan sampai di lapangan menjadi kurang sensitif dan imbauannya bermuatan kekerasan. Ini yang perlu kita antisipasi sedemikian rupa, jangan sampai ada kesan bahwa pemerintah berhadap-hadapan dengan umat Islam,” ujar Mu’ti.

Penceramah asal Jogjakarta KH Ahmad Muwafiq menyatakan perlunya upaya pemerintah untuk menampung cara-cara yang dilakukan masyarakat lokal dalam menghadapi pandemi.

Sementara guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Azyumardi Azra menyarankan perlunya forum dialog yang mengikutsertakan pemuka dari lima agama lainnya untuk menjamin inklusivitas bagi umat agama lain.

Adapun pandangan serupa juga disampaikan Ustad Das’ad Latif dan Ustad Yusuf Mansur.