Bagikan:

JAKARTA - Belakangan ini, Presiden Filipina Rodrigo Duterte menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorisme yang baru. Langkah itu membuat sederet anggota parlemen dan aktivis hak asasi manusia (HAM) di Filipina khawatir. RUU itu memiliki banyak celah untuk disalahgunakan pemerintah kemudian hari.

Melansir Reuters, potensi penyalahgunaan yang dimaksud adalah landasan hukum itu dapat digunakan untuk membungkam pihak-pihak yang kontra dengan kebijakan pemerintah. Bukan tanpa alasan. Duterte dikenal memiliki kebijakan yang kerap menuai kritik, khususnya soal HAM. Perangnya terhadap narkoba yang paling kesohor, di mana Duterte melegalisasi pembunuhan bagi penjahat narkoba.

Pengacara yang juga aktivis HAM, Jose Manuel Diokno menjelaskan, di dalam RUU Terorisme yang baru, terdapat butir di mana pemerintah memperluas definisi terorisme. Selain itu, RUU juga meningkatkan kekuatan polisi untuk melakukan pengawasan, penangkapan, dan penahanan.

"Kami pikir ini bertentangan dengan konstitusi, mengingat definisi terorisme yang lebih luas, sehingga para kritikus pemerintahan dapat dianggap sebagai tersangka teroris," ucapnya.

Apalagi, dalam RUU baru juga terdapat butir yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menyadap, menangkap, dan menahan tanpa surat perintah para tersangka selama 14 hari. Alhasil, anggota parlemen Filipina Edcel Lagman, angkat bicara terkait RUU tersebut.

Dirinya mengkritik Duterte karena memprioritaskan pengesahan RUU yang dianggap kejam, dibanding menyetujui paket stimulus ekonomi yang hingga kini masih menunggu persetujuan kongres. Padahal, paket itu bertujuan membantu mereka yang terkena dampak pagebluk COVID-19.

“Duterte sedang memperketat aturan untuk mengikat tersangka teroris dengan mengorbankan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan sipil," kata Lagman.

Sementara itu, Juru Bicara Kepresidenan Filipina Harry Roque langsung menepis kritikan tersebut. Baginya, elemen-elemen yang terdapat pada RUU memiliki pola yang sama dengan negara-negara di dunia yang secara efektif menangani terorisme.

Harry juga mengingatkan bagaimana para teroris sempat menduduki Marawi selama lima bulan pada 2017. Bahkan, dirinya mengingatkan jika RUU tak disahkan, sisa-sisa pengaruh terorisme dapat meneror Filipina. "Jangan lupa, sisa-sisa Marawi masih ada di sana."