Bagikan:

JAKARTA - Rencana diskusi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan tema "Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" batal digelar karena serangan teror berupa intimidasi hingga ancaman pembunuhan.

Peneliti Kontraterorisme UI Ridlwan Habib menilai teror berupa ancaman dan intimidasi lewat nomor telepon kepada penyelenggara dan narasumber diskusi Fakultas Hukum UGM tak lagi bisa dibiarkan.

Ridlwan mendesak kasus ini harus segera diusut oleh pihak kepolisian. Mengingat, pelaku teror bisa dengan mudahnya mendapat nomor telepon dan melakukan teror melalui digital tanpa diketahui identitasnya.

"Pembuktian teror itu sangat penting supaya masyarakat tidak resah. Polri juga perlu memeriksa saksi saksi panitia, dosen dan semua pihak yang terlibat. Telepon genggam mereka harus diperiksa Polri untuk melacak jejak peneror," kata Ridlwan saat dihubungi VOI, Minggu, 31 Mei.

Menurut Ridlwan, alat IT yang dimiliki kepolisian cukup canggih untuk melacak siapa pelaku teror. Jika telepon genggam panitia diberikan dan segera diperiksa maka pelaku bisa lebih cepat ditangkap.

Selain itu, Polri wajib melindungi keamanan para saksi. Jika nantinya pelaku sudah ditangkap, harus diumumkan secara terbuka. "Supaya jelas apa motif yang melatarbelakangi teror itu," ucapnya.

Kronologi Intimidasi

Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto menjelaskan kronologi terhiadap diskusi organisasi mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) yang rencananya digelar pada tanggal 29 Mei 2020 tersebut.

Awalnya, poster acara diskusi yang digelar atas inisiatif mahasiswa Fakultas Hukum UGM viral di media sosial. Ada pihak yang menganggap acara diskusi virtual ini merupakan gerakan makar.

Lalu, pada tanggal 28 Mei, mahasiswa pelakasana kegiatan melakukan perubahan judul di dalam poster, sekaligus menggunggah poster dengan judul yang telah diubah menjadi "Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan". Mereka juga menyertai permohonan maaf dan klarifikasi maksud dan tujuan kegiatan.

Malamnya, teror dan ancaman mulai berdatangan kepada nama-nama yang tercantum di dalam poster kegiatan, yakni pembicara, moderator, serta narahubung acara diskusi.

"Berbagai teror dan ancaman dialami oleh pembicara, moderator, narahubung, serta kemudian kepada ketua komunitas CLS, mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka," kata Sigit dalam keterangan tertulis.

Teror dan ancaman ini berlanjut hingga tanggal 29 Mei 2020. Sasaran ancaman merambah ke anggota keluarga yang bersangkutan, dalam bentuk kiriman pesan teks kepada orang tua dua orang mahasiswa pelaksana.

"Halo Pak. Bilangin tuh ke anaknya, kena pasal atas tindakan makar. Kalau ngomong yang beneran dikit, lah. Bisa didik anaknya enggak pak!!! Saya dari ormas Muhammadiyah klaten. Bilangin ke anaknya, suruh datang ke Polres Sleman. Kalau enggak apa mau dijemput aja? Atau gimana? Saya akan bunuh keluarga bapak semuanya kalau gabisa bilangin anaknya," kata Sigit menirukan bunyi ancaman.

Selain teror lewat nomor telepon, akun media sosial CLS juga diretas. Peretas menggunakan akun tersebut untuk menyatakan pembatalan diskusi, sekaligus mengeluarkan semua peserta yang telah masuk ke dalam diskusi virtual. Demi alasan keamanan, pada 29 Mei siang, penyelenggara kegiatan memutuskan untuk membatalkan diskusi tersebut.

Mahfud MD Tak Mempermasalahkan

Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD tidak mempermasalahkan mahasiswa Fakultas Hukum UGM menggelar acara diskusi virtual tersebut. "Untuk webinarnya sendiri, menurut saya tidak apa-apa, tidak perlu dilarang," kata Mahfud.

Terhadap isi pembicaraan, Mahfud mengaku mengenal secara pribadi narasumber diskusi CLS, Nikmatul Huda. Oleh sebabnya, Mahfud menilai pembicaraan dalam diskusi tak mungkin mengarah kepada pemakzulan Presiden Jokowi.

"Saya tahu orangnya tidak subversif. Jadi, tak mungkin menggiring ke pemakzulan secara inkonstitusional. Dia pasti bicara berdasar konstitusi," ucapnya.

Oleh karenanya, Mahfud meminta penyelenggara maupun narasumber yang mendapat teror melapor kepada aparat kepolisian setempat. "Yang diteror perlu melapor kepada aparat dan aparat wajib mengusut siapa pelakunya," tutup dia.