Pemerintah Diminta Tegas soal Persekusi Diskusi 'Pemberhentian Presiden'
Ilustrasi kegiatan diskusi. (Free-Photos/Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Publik terus mengecam teror dan ancaman pembunuhan pada penyelenggara acara yang mengakibatkan batalnya diskusi bertema "Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan". Mereka mengecam dan meminta agar pemerintah segera turun tangan mengambil langkah tegas terkait aksi tersebut.

Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani mengatakan, gagal diskusi akibat ancaman adalah bentuk dari sebuah persekusi dan pemasungan kebebasan yang berakhir menghancurkan literasi dan ilmu pengetahuan. Hal ini, kata dia, bukan tak mungkin akan berdampak pada kualitas demokrasi.

Dia menilai, diskusi adalah media pertukaran gagasan dan sarana untuk mengulik pandangan akademis dalam melihat suatu peristiwa. Sehingga, diskusi harusnya menjadi hal yang positif sebagai sarana literasi.

"Cara ini menjadi sarana literasi bagi akademisi secara khusus maupun masyarakat secara umum agar tidak menelan suatu narasi peristiwa secara mentah-mentah," kata Ismail dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip VOI, Senin, 2 Juni.

Atas alasan tersebut, SETARA mengecam ancaman, teror, dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab tersebut. Menurut Ismail, praktik tersebut bertentangan dengan demokrasi di tengah pentingnya pengelolaan deliberative democracy.

Lagipula, ketakutan adanya makar adalah hal yang tak berdasar dan tidak bisa dijadikan alasan untuk melaksanakan praktik pembungkaman terhadap para akademisi ini. "Setiap suara memiliki kesempatan untuk hidup di tengah masyarakat tanpa represi," tegasnya.

Diminta segera mengusut para pelaku

Tindakan persekusi atas kebebasan berpendapat di era Presiden Joko Widodo, kata Ismail, bukan baru sekali ini saja terjadi. Menurut dia, dari indeks Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirilis oleh SETARA Institute pada 2019, pemerintahan Presiden Jokowi di periode 2014-2019 hanya menujukkan nilai 1,9 dari skala 1 sampai 7 untuk kebebasan berekspresi. Sedangkan rata-rata nilai untuk 11 variabel HAM yang dievaluasi adalah 3,2.

Dia menilai, rendahnya nilai untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat ini didukung oleh data pelanggaran yang serius seperti 204 peristiwa kriminalisasi individu, pemblokiran 32 media online, 961.456 pemblokiran situs internet dan akun media sosial, 7 pembubaran diskusi, pelarangan buku, dan penggunaan delik makar yang tak akuntabel untuk menjerat 7 warga negara.

Dengan rendahnya nilai kebebasan berekspresi dan berpendapat ini, pemerintah harus mengusut siapa dalang di balik teror tersebut. Sebab, meski mengaku tak terlibat, namun ada kesan pemerintah membiarkan persekusi itu terjadi.

"Jika tidak mengambil langkah solutif dan pelembagaan penghapusan praktik pelanggaran kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, pemerintah bisa dianggap menikmati seluruh tidakan persekusi dan sikap koersif warga dalam berbagai peristiwa," kata Ismail.

Menurut dia, pemerintah tak boleh lagi melakukan pembiaran terhadap pelanggaran kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. "Sikap proaktif negara diperlukan untuk menunjukkan bahwa elemen negara atau organ lain yang disponsori negara tidak berada di balik peristiwa persekusi akademik di UGM," tegasnya.

Teror terhadap akademisi adalah pembodohan kehidupan bangsa

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan, teror yang berujung pembungkaman ini amat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

"Ketika visi tentang Pancasila apalagi yang termaktub dalam UUD 1945, kalau ada pembungkaman kampus, pembungkaman kegiatan akademik, pemberangusan mimbar akademik itu sebenarnya bertentangan secara esensial mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Din dalam diskusi daring "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi COVID-19" di akun YouTube Mahutama, Senin, 2 Juni.

"Karena praktik sebaliknya adalah pembodohan kehidupan bangsa," imbuh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini mengutip pemikiran seorang tokoh Islam modern Muhammad Abduh dan berkata, kebebasan bisa diperoleh setelah ada dua fase yang terlewati yaitu era jahiliah dan era manusia sudah berbudaya dan berkeadaban. 

Dia menambahkan, kebebasan berpendapat, bicara, dan beragama sebenarnya punya landasan teologis dan filosofi dalam pemikiran Islam. "Dan, UUD 1945 sebagaimana disebut tadi Pasal 28 membakukannya. Oleh karena itu, terus terang kita terganggu ya, kalau ada rezim yang cenderung otoriter, represif, dan anti kebebasan berpendapat," tegasnya.

"Apalagi (dalam melaksanakannya) tentu ada syaratnya, yaitu tidak keluar dari norma-norma, etika, dan nilai yang disepakati. Selama berada di koridor dan lingkaran tersebut maka itu hak warga negara," ujar Din.

Sebelumnya, diskusi organisasi mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) batal digelar. Hal tersebut terjadi karena poster acara diskusi tersebut ramai di media sosial dan menuai tanggapan dari warganet. Sebagian di antara mereka kemudian menganggap diskusi secara virtual ini adalah gerakan makar.

Selanjutnya,  pada tanggal 28 Mei, mahasiswa pelaksana kegiatan melakukan perubahan judul di dalam poster, sekaligus menggunggah poster dengan judul yang telah diubah menjadi "Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan". Mereka juga menyertai permohonan maaf dan klarifikasi mengenai diskusi itu.

Malamnya, teror dan ancaman mulai berdatangan kepada nama-nama yang tercantum di dalam poster kegiatan, yakni pembicara, moderator, serta narahubung acara diskusi.

Teror dan ancaman ini berlanjut hingga tanggal 29 Mei 2020. Sasaran ancaman merambah ke anggota keluarga yang bersangkutan, dalam bentuk kiriman pesan teks kepada orang tua dua orang mahasiswa pelaksana.

Selain teror lewat nomor telepon, akun media sosial CLS juga diretas. Peretas menggunakan akun tersebut untuk menyatakan pembatalan diskusi, sekaligus mengeluarkan semua peserta yang telah masuk ke dalam diskusi virtual. Demi alasan keamanan, pada 29 Mei siang, penyelenggara kegiatan memutuskan untuk membatalkan diskusi tersebut.

Belakangan, Menko Polhukam Mahfud MD mengaku tak masalah dengan adanya diskusi tersebut. "Untuk webinarnya sendiri, menurut saya tidak apa-apa, tidak perlu dilarang," kata Mahfud.

Terhadap isi pembicaraan, Mahfud mengaku mengenal secara pribadi narasumber diskusi CLS, Nikmatul Huda. Oleh sebabnya, Mahfud menilai pembicaraan dalam diskusi tak mungkin mengarah kepada pemakzulan Presiden Jokowi.

"Saya tahu orangnya tidak subversif. Jadi, tak mungkin menggiring ke pemakzulan secara inkonstitusional. Dia pasti bicara berdasar konstitusi," ucapnya.

Oleh karenanya, Mahfud meminta penyelenggara maupun narasumber yang mendapat teror melapor kepada aparat kepolisian setempat. "Yang diteror perlu melapor kepada aparat dan aparat wajib mengusut siapa pelakunya," tutup dia.