Publik Dorong Pemerintah Minta Maaf Terkait Penanganan COVID-19, KSP: Apa Urgensinya?
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Desakan publik agar pemerintah meminta maaf atas sengkarut penanganan COVID-19 ditanggapi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan yang menanyakan urgensi permintaan tersebut.

Menurutnya, desakan permintaan maaf itu kurang tepat. Alasannya, permasalahan yang ada saat ini harus dilihat secara seimbang antara kebijakan yang telah dibuat pemerintah dengan kedisiplinan masyarakat di tengah pandemi COVID-19.

"Minta maaf itu apa urgensinya? Makanya harus dilihat dari bagaimana. Jangan dilihat dari segi emosional dan perspektif personal kan harus ada juga keseimbangan antara pemerintah dengan masyarakat," kata Ade kepada wartawan yang dikutip Kamis, 8 Juli.

Dia mencontohkan masih banyak masyarakat yang tak patuh menjalankan larangan mudik saat libur lebaran lalu meski pembatasan telah dilakukan. "Tapi kan banyak juga masyarakat kita yang bilang tradisi, mau ketemu orang tua, dan lainnya. Susah kan kita kalau dihadapkan pada situasi itu," tegasnya.

"Lalu ada juga yang lolos berapa juta (pemudik, red) itu. Ada juga sebagian pemangku kepentingan kita yang berpergian. Ada juga itu dan itu tidak bisa dipungkiri," imbuh Ade.

Sehingga, dia menganggap desakan permintaan maaf yang berujung permintaan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) meletakkan jabatannya dianggap tak ada urgensinya. 

Ade menilai yang terpenting semua pihak tanpa terkecuali membantu pemerintah menyelesaikan masalah pandemi COVID-19 di Tanah Air. "Iya, enggak ada (urgensinya, red). Semua harus sama-sama melihat pandemi ini adalah menjadi persoalan kita semua," ungkapnya.

"Kalau boleh saya katakan begini, kita butuh keteladanan dari pimpinan. Tapi kita juga perlu kedisiplinan dan kesadaran dari masyarakat," tambah Ade.

Diberitakan sebelumnya, inisiator relawan LaporCovid-19 Irma Hidayat mendesak pemerintah untuk meminta maaf kepada masyarakat atas sengkarut penanganan pandemi. Dia mengatakan timnya sudah sangat sulit menemukan rumah sakit yang masih menyediakan tempat tidur bagi pasien terkonfirmasi virus corona.

"Kami kebanjiran menerima pesan dari warga yang meminta tolong untuk mendapatkan layanan medis. Tapi, sebagian besar, 90 persen itu tidak berhasil. Sekarang sudah terlalu banyak sekali angka kesakitan dan kematian yang sebetulnya sudah banyak dicegah," kata Irma dalam diskusi virtual, Senin, 5 Juli.

Belum lagi, pemerintah masih bersikukuh terhadap data keterisian tempat tidur yang mereka himpun. Padahal, LaporCovid-19 menemukan adanya keterlambatan data terhadap ketersediaan tempat tidur isolasi maupun ICU COVID-19. 

Dia mencontohkan ketersediaan tempat tidur dalam kanal resmi Dinas Kesehatan DKI, yakni http://eis.dinkes.jakarta.go.id. Dalam situs tersebut, tercantum sejumlah tempat tidur yang tersedia di beberapa rumah sakit.

Namun, saat tim LaporCovid-19 mengonfirmasi kepada rumah sakit ternyata penuh.

"Tempat tidur RS di lapangan itu penuh. Tapi di data itu masih ada dan pemerintah menggunakan data ini, data yang hanya sebagai angka statistik. Bukan data yang merefleksikan situasi di lapangan," tuturnya.

Selain Irma, peneliti lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Herlambang Wiratraman membeberkan tiga fakta yang membuktikan pemerintah gagal melindungi rakyat dari lonjakan COVID-19.

Pertama, lonjakan kasus dan peningkatan kematian COVID-19 yang sedang terjadi. Ditambah, dengan merebaknya varian baru COVID-19 di Indonesia.

Kedua, fasilitas pelayanan kesehatan saat ini, menurut Herlambang bisa dikatakan ambruk atau kolaps. Banyak pengakuan rumah sakit hari ini yang tak sanggup lagi menerima pasien COVID-19, sehingga penolakan terjadi di mana-mana.

Akibatnya, kata Herlambang, banyak pasien COVID-19 yang kondisi kesehatannya semakin memburuk akibat tak mendapat layanan kesehatan. Bahkan, tak sedikit warga positif COVID-19 meninggal dunia.

Fakta ketiga gagalnya negara melindungi rakyat adalah tingginya jumlah nakes yang terpapar dan meninggal. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat per 27 Juni, ada 405 dokter meninggal.

"Jadi, tiga fakta ini saja sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk mengatakan negara gagal melindungi rakyatnya," ungkap Herlambang.