JAKARTA - Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR, Deddy Yevri Sitorus, meminta pemerintah bertindak konkret usai memutuskan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa Bali. Jika perlu juga membatasi pergerakan dan isolasi terhadap daerah lain yang mengalami peningkatan kasus.
“Jangan terlalu ribet dengan istilah, intinya aktivitas publik yang rentan termasuk mobilitas harus dikendalikan selama jangka waktu tertentu," ujar Deddy kepada wartawan, Kamis, 1 Juni.
Deddy menilai, pembatasan tersebut harus diikuti dengan pemeriksaan rapid test antigen secara cepat dengan biaya pemerintah dan bersifat mandatory di wilayah atau komunitas yang dianggap perlu.
"Demikian pula isolasi cepat terhadap wilayah yang tinggi penularannya harus dilakukan secara berjenjang, mulai desa atau kelurahan hingga kecamatan dan kabupaten atau kota,” katanya.
Terlebih, lanjutnya, saat ini dampak pandemi COVID-19 di Indonesia semakin mengkhawatirkan karena grafik tertular dan angka kematian terus meningkat signifikan. Bahkan hampir semua fasilitas kesehatan telah mencapai kondisi 'full occupancy', obat-obat penting dan penunjang kehidupan seperti oksigen sudah sulit ditemukan di pasaran.
"Pemerintah jangan sampai ragu melakukan langkah apa pun yang harus dan mungkin dilakukan,” tegas anggota Komisi VI DPR RI itu.
“Bisa dikatakan bahwa saat ini Indonesia menghadapi gelombang kedua pandemi COVID-19 yang cukup berbahaya. Apalagi dengan munculnya varian-varian baru yang lebih berbahaya sebab penularannya sangat cepat, dampaknya yang fatal dan mulai menyerang kelompok usia muda,” ungkap Deddy.
Deddy pun mendorong pemerintah untuk membagikan suplemen dan obat-obatan kepada warga yang membutuhkan guna membantu meningkatkan kekebalan warga yang sehat. Sebab, kata dia, investasi untuk menguatkan ketahanan kesehatan masyarakat juga penting dan biayanya juga jauh lebih murah.
“Investasi dengan memberikan masker, suplemen seperti imboost, vitamin bersifat antioksidan seperti vitamin C, D dan E serta obat yang diharapkan dapat menjadi benteng pertahanan tubuh rakyat seperti Ivermictin, Avimac atau bahkan Avigan, sesuai saran dari otoritas kesehatan,” kata legislator dari dapil Kalimantan Utara itu.
Disamping itu, menurutnya, edukasi terhadap warga harus diberikan untuk tetap menjaga protokol kesehatan, serta tak terburu-buru minta dirawat ketika dinyatakan positif. Hal ini seiring keterbatasan ruang rawat pada rumah sakit.
"Warga harus dibekali pengetahuan langkah-langkah yang harus dilakukan ketika mereka terpapar, pada tingkat mana mereka harus mendapatkan perawatan intensif,” kata Deddy.
BACA JUGA:
Deddy menambahkan, seharusnya saat ini asrama-asrama embarkasi haji, pusat-pusat pendidikan dan atau pelatihan milik instansi pemerintah hingga kampus atau sekolah sudah dipersiapkan untuk menghadapi kondisi darurat.
“Sekarang lihat saja, banyak warga yang meregang nyawa di rumahnya atau di luar ruang perawatan rumah sakit akibat terbatasnya ruang dan tempat tidur serta peralatan penunjang kehidupan yang dibutuhkan,” kata Deddy.
Pemerintah, tambahnya, juga perlu membuat sistem pemantauan warga yang tertular demi kepastian pelayanan petugas kesehatan saat harus isolasi mandiri. Deddy menekankan, jenjang, sistem dan petugas yang telah terbentuk melalui mekanisme BPJS juga bisa digunakan untuk pemantauan kondisi warga yang tertular.
Selama ini, Deddy menilai pemerintah terkesan terlambat dalam merespons serangan gelombang kedua pandemi COVID-19. Padahal, sejak tahun lalu sudah diingatkan agar pemerintah segera meningkatkan fasilitas kesehatan, membuat alternatif pusat isolasi, dan pelayanan awal penderita agar siap jika menghadapi gelombang kedua pandemi COVID-19.
“Semua tahu, apalagi belajar dari gelombang kedua di China bahwa virus terus bermutasi sehingga harusnya kita siap dengan skenario terburuk. Tetapi saya melihat energi lebih banyak terkuras mengurusi soal vaksin dan vaksinasi karena kurva penyebaran virus yang melandai di awal tahun. Begitu gelombang kedua menghantam, kita gagap,” ujar Deddy.