JAKARTA - Permintaan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendapatkan hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) masih jauh panggang dari api. Penyebabnya, KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) justru saling melempar tanggung jawab.
Hal ini terlihat dari pernyataan Ketua BKN Bima Haria Wibisana yang menyatakan hasil tes tersebut secara akumulasi telah diserahkan kepada KPK. Dengan telah diserahkannya hasil tersebut maka pihaknya sudah tak lagi memiliki dokumen yang berkaitan TWK pegawai KPK.
Pernyataan tersebut disampaikannya usai dirinya dimintai keterangan terkait pelaksanaan TWK oleh tim Komnas HAM selama empat jam atau sejak pukul 12.43 WIB hingga sekitar pukul 17.03 WIB.
"BKN menerima hasil TWK, hasilnya kumulatif semuanya, hasilnya dalam dokumen tersegel dan saat ini sudah di KPK. BKN sudah tidak punya dokumen itu," kata Bima dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 22 Juni.
Dirinya juga menyebut sejak awal lembaganya tak memiliki hasil tes masing-masing individu seperti yang pernah disinggung Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri. Kata Bima, BKN sejak awal tak pernah menerima karena seluruh lembaga yang terkait dalam proses TWK memberikannya secara akumulasi.
Dalam proses pelaksanaan TWK pegawai KPK sebagai syarat alih status pegawai, sejumlah lembaga memang dilibatkan BKN. Lembaga tersebut adalah Dinas Psikologi TNI AD, Pusat Intelijen TNI AD, Badan Intelijen Strategis (BAIS TNI), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Kembali ke Bima, kata dia, data tersebut berada di Dinas Psikologi Angkatan Darat serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan bersifat rahasia atau tak bisa sembarangan diumumkan ke publik.
"Yang diminta adalah hal-hal yang tidak ada dalam dokumen itu, karena ini dokumennya bersifat agregat, bukan detail orang per orang. Kalau kami minta, maka kami akan minta pada pemilik instrumen data-data itu karena instrumen tidak di kami. Kalau Indeks Moderasi Bernegara-68 ada di Dinas Psikologi AD, profilingnya di BNPT," ungkapnya.
"Jadi saya sampaikan ini menurut Dinas Psikologi AD dan BNPT rahasia. Jadi bukan saya yang menyampaikan rahasia tapi pemilik informasi itu. Karena saya sebagai asesor mempunyai kode etik, kalau menyampaikan yang rahasia bisa kena pidana," imbuh Bima.
Meski menyatakan informasi ini bersifat rahasia namun hasil masih bisa dibuka dengan adanya putusan pengadilan.
"Apakah bisa dibuka? Ya bisalah. Semua informasi di Indonesia ini bisa dibuka kalau ada ketetapan pengadilan supaya orang-orang yang memberi informasi ini tidak disalahkan," ujar Bima.
KPK sebelumnya mengakui sedang berupaya meminta hasil asesmen milik puluhan pegawainya yang tak lolos TWK. Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri menyatakan masih berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk meminta dokumen tersebut.
"PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Data) KPK tengah melakukan koordinasi terkait pemenuhan informasi tersebut karena salinan dokumen yang diminta bukan sepenuhnya dalam penguasaan KPK," katanya kepada wartawan, Selasa, 15 Juni.
Ali mengatakan pihaknya terus berupaya untuk mendapatkan hasil TWK ini setelah menerima 30 surat permohonan dari pegawainya. PPID KPK, sambungnya, juga telah merespons surat tersebut.
Sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, permintaan itu wajib dipenuhi secara tertulis paling lambat 10 hari kerja. Waktu itu dapat diperpanjang 7 hari dengan memberikan alasan penundaan secara tertulis.
"KPK berupaya untuk bisa memenuhi salinan permintaan tersebut sesuai dengan ketentuan waktu yang berlaku," tegasnya.
BACA JUGA:
Desakan membuka hasil TWK
Beberapa waktu yang lalu, perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK dan dinonaktifkan mendesak KPK bicara jujur mengenai hasil yang mereka dapatkan. Menurut mereka, meski pahit namun kebenaran lebih baik disampaikan.
"Katakanlah kebenaran walau pahit adanya. Pegawai KPK meminta Juru Bicara KPK, sebagai perwakilan resmi lembaga, untuk menghentikan pernyataan-pernyataan yang blunder dan sesat," kata pegawai KPK Budi Agung Nugroho dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 17 Juni.
Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Penyidik KPK ini adalah salah satu dari 75 pegawai yang kini dinonaktifkan karena tak lolos TWK. Dalam keterangannya itu, penyidik yang pernah menangani kasus rekening gendut Komjen Budi Gunawan ini meminta keterbukaan informasi dari komisi antirasuah.
Bahkan untuk mendapatkan keterbukaan informasi terkait TWK, dia mengatakan ada sejumlah pegawai yang tak lolos mengirim surat kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Data (PPID) KPK.
Dalam surat tersebut, ada delapan poin yang diminta oleh pegawai yaitu pertama soal hasil asesmen TWK yang meliputi tes IMB, tes tertulis dan tes wawancara.
Kedua adalah kertas kerja penilaian lengkap dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) atas hasil asesmen untuk semua tahapan tes yang sekurang-kurangnya memuat metodologi penilaian, kriteria penilaian, rekaman hasil wawancara, analisa assesor, hingga saran dari assesor atau pewawancara.
Berikutnya yaitu dasar atau acuan penentuan unsur-unsur yang diukur dalam asesmen TWK. Keempat yakitu dasar atau acuan penentuan kriteria memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS). Kelima dasar atau acuan penentuan dan penunjukan assessor.
Kemudian keenam data yang diberikan oleh KPK kepada assessor berikut alasan pemberian dan atau dasar hukumnya. Ketujuh kertas kerja assessor dan terakhir soal berita acara penentuan lulus atau tak lulus oleh assessor atau pewawancara.
"Melihat dari karakteristik data yang diminta seharusnya tak butuh waktu lama untuk berkoordinasi dengan BKN sebagai pihak penyelenggara TWK. Apalagi, seharusnya semua data tersebut, sudah tersedia bahkan sebelum TWK berlangsung," ungkap Budi.
Budi menyebut penyerahan data tersebut telah dilakukan di kantor MenpanRB Tjahjo Kumolo pada 27 April 2021 dengan seremoni khusus. Tak hanya itu, dia menyinggung Pasal 6 Ayat (1) huruf g, perjanjian kerjasama antara KPK dan BKN.
Di mana dalam pasal tersebut disebutkan KPK berhak untuk memanfaatkan seluruh hasil Asesmen TWK pegawai, laporan pelaksanaan kegiatan TWK, dan seluruh data serta dokumen yang dihasilkan dalam pelaksanaan TWK tanpa perlu meminta persetujuan BKN.
"Kecuali landasan hukum dan sertifikat asesor yang seharusnya ada sebelum TWK, dibuat backdate seperti Nota Kesepahaman antara BKN dan KPK dalam pelaksanaan TWK," kata Budi Agung Nugroho.
Menurut Budi, KPK sebagai lembaga penegak hukum dan BKN sebagai lembaga yang mengatur manajemen kepegawaian negara, tidak sepatutnya menyelenggarakan hal-hal yang melawan hukum.
Pegawai KPK lainnya yang tak lolos TWK yaitu Novariza menuding komisi antirasuah bertele-tele terkait permintaan keterbukaan informasi yang diminta pegawai. Padahal, saat membuat Perkom Nomor 1 Tahun 2021 tentang alih status pegawai prosesnya begitu cepat.
"Jika dalam proses pelaksanaan perkom tersebut KPK bisa cepat dalam berkoordinasi pengundangan yang hanya berlangsung satu hari yang sama, maka permintaan hasil TWK pegawai seharusnya bisa lebih cepat dari itu," kata Novariza.
Lebih lanjut, Novariza mengatakan saat ini pegawai curiga adanya manipulasi lanjutan yang akan dilakukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri dan Kepala BKN Bima Haria Wibisana. Apalagi, sejak TWK direncanakan sudah banyak manipulasi terjadi.
"Bagaimana bisa Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, di depan Ombudsman RI, yang tengah memeriksa tentang maladministrasi tanpa malu mengakui adanya kontrak kerja sama yang sengaja dibuat backdate," pungkasnya.