JAKARTA - Pemprov DKI enggan mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown) se-Jakarta ketika wilayahnya mengalami lonjakan COVID-19 saat ini.
Diketahui, lonjakan kasus COVID-19 di Jakarta mulai terjadi beberapa pekan setelah libur Lebaran. Puncaknya, kasus baru COVID-19 DKI per hari mencapai angka yang paling tinggi pada Minggu, 20 Juni yakni 5.582 kasus baru. Pada Senin, 21 Juni, kasus baru mencapai 5.014 kasus.
Keterisian tempat tidur atau bed occupation ratio (BOR) perawatan COVID-19 di Jakarta juga semakin menipis. BOR isolasi pasien COVID-19 saat ini mencapai 90 persen.
Sementara, BOR ICU khusus COVID-19 mencapai 81 persen. Padahal, Pemprov DKI baru-baru ini sudah menambah jumlah mencapai total 10 ribu tempat tidur.
Menjawab hal ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengaku pihaknya tidak memilih opsi lockdown untuk menekan penyebaran COVID-19 di Ibu Kota. Riza bilang, kewenangan pengetatan mobilitas daerah berada di tangan pemerintah pusat.
"DKI Jakarta akan mengikuti apa yang menjadi kebijakan dan keputusan yang sudah diambil oleh pemerintah pusat. Apa yang sudah disampaikan oleh Pak Menko (Bidang Perekonomian) Pak Airlangga itu yang akan kita tuangkan dalam peraturan gubernur," kata Riza, Senin, 21 Juni.
Pada prinsipnya, DKI tetap menjalankan PPKM mikro dengan pengetatan yang diputuskan pemerintah pusat. Selain itu, Pemprov DKI juga meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan, pengawasan pelanggaran protokol kesehatan, hingga penggencaran vaksinasi.
"Dulu kan kewenanganya ada di daerah, sekarang kewenangan ada di pusat. Sekarang ada PPKM yang diatur pemerintah pusat, dimaksudkan agar koordinasi, singkronisasi, harmonisasi, dan kerja sama yang baik seluruh daerah," jelas Riza.
Terpisah, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus menegaskan pihaknya melakukan pembatasan untuk mobilitas warga mulai malam jam 21.00 WIB di 10 ruas jalan di Jakarta. Tapi ini tidak sama dengan lockdown.
"Ada 10 titik yang akan kami lakukan pembatasan. Saya ulangi lagi pembatasan. Jangan nanti dipelesetkan, dibilang lockdown segala macam. Tidak ada lockdown, ini pembatasan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus.
Pembatasan mobilitas tersebut dilakukan Polda Metro Jaya pada pukul 21.00-04.00 WIB di 10 ruas jalan yang kerap terjadi pelanggaran protokol kesehatan dalam bentuk kerumunan karena adanya kafe, bar, dan restoran yang buka di luar jam yang diperkenankan.
BACA JUGA:
Lalu, DKI juga punya pertimbangan lain kenapa tidak mengupayakan untuk menerapkan lockdown. Di tengah dorongan lockdown, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI mengakui APBD DKI tak cukup untuk biayai kebutuhan masyarakat jika lockdown diterapkan.
Berdasarkan hitungan kasar, dana sebesar Rp11.083.768.944.847 yang didapatkan dari pendapatan pajak dan retribusi daerah hingga triwulan dua tahun 2021.
Jika ditambah dana penanggulangan COVID-19 yang dimiliki DKI sekitar Rp5 triliun, masih belum mencukupi untuk biaya makan selama sebulan untuk 10,56 juta penduduk DKI.
Karena untuk memenuhi kebutuhan makan penduduk Jakarta, dengan perkiraan satu kali makan sebesar Rp20 ribu, membutuhkan biaya sekitar Rp19 triliun. Itupun belum termasuk biaya penunjang lainnya untuk listrik dan air serta penduduk non KTP DKI yang berada di Ibu Kota.
Kondisi keuangan DKI Jakarta dalam kondisi yang tidak baik mengingat saat ini penerimaan dari sektor-sektor usaha yang jadi obyek pajak daerah tidak dimungkinkan ditarik secara maksimal.
"Jadi kalau ditanya apa uang ada, ya ada, tetapi cukup atau tidak cukupnya saya tidak bisa komentar karena besaran kebutuhannya saya tidak tahu. Karena untuk kebutuhan belanja tersebut, berada pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta yang memiliki fungsi untuk itu," kata Sekretaris Bapenda DKI Jakarta Pilar Hendrani.