Kemendes Siapkan 75.000 Hektare Lahan Pertanian untuk Antisipasi Krisis Pangan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar. (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) berupaya mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi virus corona atau COVID-19, dengan melakukan intensifikasi lahan pertanian seluas 75.000 hektare (ha).

Badan pangan dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) sebelumnya telah memperkirakan bahwa imbas dari pandemi virus ini akan bedampak pada krisis ketahanan pangan secara global.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengatakan, lahan seluas 75.000 ha ini akan ditingkatkan di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan dengan terget meningkatkan produksi sebanyak lima ton per ha. Proyek ini juga menggandeng kerja sama dengan warga desa setempat yang kehilangan pekarjaan akibat adanya wabah COVID-19.

"Produksi pertanian di sana tiga ton per ha dengan intensifikasi diharapkan menjadi lima ton atau empat ton. Ini tentu tidak bisa berjalan sendiri dan kami dari beberapa hari terakhir sudah melakukan diskusi dengan Kementerian Perekonomian, PUPR dan Kementerian Pertanian," katanya, dalam rapat kerja dengan Komisi V DPR RI secara virtual, di Jakarta, Senin, 11 Mei.

Abdul Halim menjelaskan, dana yang dipakai untuk membiayai produksi sawah tersebut berasal dari anggaran program padat karya tunai. Di mana dana tersebut dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan produktif selain pembangunan infrastruktur desa.

Selain itu, Abdul Halim mengatakan, untuk memperkuat ketahanan pangan nasional upaya diversifikasi pertanian juga dilakukan pada lahan-lahan milik desa yang masih kosong. Hal ini dilakukan lantaran dalam kondisi pandemi seperti ini komoditas pertanian yang sebelumnya mengandalkan impor tak bisa lagi diharapkan untuk memenuhi kebutuhan.

Lebih lanjut, Abdul Halim menjelaskan, di masa pandemi ini, negara-negara eksportir akan cenderung menutup diri dan memilih untuk memenuhi kebutuhan negara mereka ketimbang mengekspor hasil pertaniannya.

"Hasilnya bisa digunakan untuk warga desa atau dijual kemudian uangnya masuk dalam pendapatan desa. Ini juga arah dari padat karya tunai desa di mana data terakhir tanggal 9 Mei 2020 sudah terserap Rp6,8 triliun yang dialokasikan untuk 50.514 desa seluruh Indonesia," jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan justru mengklaim, Indonesia tidak akan mengalami krisis pangan dalam waktu dekat.

Menurut Luhut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mempertimbangkan saran dari FAO untuk memperkuat ketahanan pangan. Jokowi juga telah memerintahkan menteri kabinetnya untuk menjamin ketersediaan pasokan dan distribusinya. Apalagi, sudah mendekati Hari Raya Idulfitri atau Lebaran.

Sekadar informasi, sebelumnya FAO menyatakan, bahwa krisis pangan dunia berpotensi terjadi pada April dan Mei karena rantai pasokan terganggu kebijakan untuk menekan penyebaran wabah ini. Di anataranya, karena adanya penerapan karantina wilayah atau lockdown, pembatasan sosial, dan larangan perjalanan.

Menurut FAO, lockdown dan pembatasan sosial sangat mepengaruhi sektor pertanian. Khususnya di komoditas bernilai tinggi, seperti sayuran dan buah-buahan yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam produksinya.