Pernyataan Sri Mulyani soal DBH Pemprov DKI Dipatahkan BPK
Ketua BPK Agung Firman Sampurna (Foto: BPK.go.id

Bagikan:

JAKARTA - Di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 muncul polemik mengenai pembayaran Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat ke daerah. Kementerian Keuangan mengatakan pembayaran harus menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, hal ini dipatahkan oleh BPK.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna, meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak menjadikan pemeriksaan BPK sebagai alasan belum disalurkannya kurang bayar DBH kepada pemerintah daerah. Sebab, hal ini tidak ada hubungannya dengan BPK.

"Tidak ada hubungan antara pembayaran kewajiban Kemenkeu kepada pemerintah provinsi DKI atau pemerintah daerah manapun terkait kurang bayar DBH dengan pemeriksaan BPK," ujarnya, dalam video conference bersama wartawan, di Jakarta, Senin, 11 Mei.

Menurut Agung, BPK hanya melakukan tugas sebagai pemeriksa keuangan negara dan Kementerian Keuangan sebagai pengelolaan keuangan negara. Untuk itu, tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai landasan pembayaran DBH ke pemerintah daerah.

Tidak Ada Aturan Pembayaran Menunggu Audit BPK

Agung mengatakan, dalam UUD 1945 maupun UU pemeriksaan, UU keuangan negara, hingga UU Perbendaharaan tidak ada satu pun yang mengatur bahwa pembayaran kewajiban, khususnya DBH, yang dilakukan Kementerian Keuangan atau pemerintah pusat itu harus menunggu hasil audit BPK.

"Silakan Kemenkeu buat keputusan bayar atau tidak bayar, tidak perlu dihubungkan dengan pemeriksaan BPK," tuturnya.

Untuk pencairan DBH tersebut, BPK sudah berkirim surat dengan Kementerian Keuangan pada 28 April 2020. Dalam surat tersebut BPK menjelaskan tugas pemeriksaan yang dilakukan tidak berkaitan dengan pencairan DBH oleh Kementerian Keuangan.

"Silakan dibaca pada surat resmi yang kami sampaikan kepada Menkeu," katanya.

Menanggapi hal ini, Staf Khusus Kementerian Keuangan Yustinus Prastowo mengakui, soal DBH ini tidak ada kaitan secara kelembagaan dengan institusi BPK. Artinya, tidak perlu persetujuan BPK terhadap pembayaran DBH ke Daerah.

Menurut Yustinus, yang ingin disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani adalah, untuk pembayaran DBH kurang bayar dalam praktiknya didasarkan pada LKPP yang telah selesai diaudit BPK sehingga angkanya menjadi pasti.

"Dengan demikian harapannya governance lebih baik, tidak perlu penyesuaian lagi apabila ada perbedaan atau perubahaan angka atau nilai," kata Yustinus, kepada wartawan.

Yustinus berujar, kebijakan Kemenkeu seperti itu tentu juga didasari pertimbangan untuk mendorong Pemda melakukan refocusing atau realokasi anggaran dan mengalokasikan Belanja Tidak Terduga (BTT) untuk menangani COVID-19 ini.

Pemerintah pusat, lanjut dia, akan bekerja sama, berkoordinasi dan mendukung upaya Pemda untuk bersama-sama menangani pandemi dengan baik.

"Sebenarnya Kemenkeu pun tidak merasa perlu berpolemik dengan BPK. Jadi perlu kami tegaskan, ini tidak ada kaitan kelembagaan apalagi membebankan pembayaran pada kinerja BPK," tuturnya.

Apalagi, kata dia, Ketua BPK juga sudah bersurat ke Menkeu untuk dapat melakukan pembayaran DBH kurang bayar dan tentu akan sangat dipertimbangkan oleh Kemenkeu.

"Yang jelas sekarang sudah dibayarkan 50 persen dan untuk selanjutnya surat ketua BPK akan dijadikan pertimbangan sambil terus berkoordinasi dengan Pemda melakukan refocusing dan realokasi anggaran," jelasnya.

Menurut Yustinus, pernyataan Menteri Keungan yang mengatakan pembayaran kurang bayar DBH harus menunggu audit BPK bukan ditujukan untuk mempersulit pencairan dana tersebut.

"Itu praktik bertahun-tahun tidak untuk mempersulit atau mencari masalah, tapi sekadar memastikan governance lebih baik dan kredibel saja," tuturnya.