Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Agama membantah anggapan pihaknya terburu-buru dalam memutuskan pembatalan pemberangkatan jemaah haji 2021. Pasalnya, keputusan yang diumumkan Menteri Agama Yaqut Cholil Coumas itu sudah dilakukan melalui kajian mendalam.

“Keputusan itu tentu berdasarkan kajian mendalam, baik dari aspek kesehatan, pelaksanaan ibadah, hingga waktu persiapan. Tidak benar kalau dikatakan terburu-buru,” tegas Plt Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Khoirizi di Jakarta, Jumat, 4 Juni.

“Pemerintah bahkan melakukan serangkaian pembahasan, baik dalam bentuk rapat kerja, rapat dengar pendapat, maupun rapat panja haji dengan Komisi VIII DPR,” sambungnya.

Khoirizi menuturkan, Kementerian Agama tentu berharap ada penyelenggaraan haji pada tahun ini. Bahkan, sejak Desember 2020, Kemenag sudah melakukan serangkaian persiapan, sekaligus merumuskan mitigasinya. 

"Beragam skenario sudah disusun, mulai dari kuota normal hingga pembatasan kuota 50 persen, 30 persen, 25 persen sampai 5 persen," ungkapnya.

Selain itu, lanjutnya, persiapan penyelenggaraan juga dilakukan, baik di dalam dan luar negeri. Persiapan layanan dalam negeri, misalnya terkait kontrak penerbangan, pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik.

Demikian pula penyiapan layanan di Arab Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji, dan lainnya. 

"Namun, semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Saudi," katanya.

Menag, imbuh Khoirizi, bahkan sempat berkoordinasi secara virtual dengan Menteri Haji Arab Saudi saat itu, yakni Saleh Benten, tepatnya pada pertengahan Januari 2021 untuk mendiskusikan penyelenggaraan ibadah haji. 

Sebelumnya, Menag juga bertemu Duta Besar (Dubes) Arab Saudi Esam Abid Althagafi, dan mendiskusikan penyelenggaraan ibadah haji.

“Saya pada 16 Maret lalu juga berkoordinasi dengan Dubes Saudi di kantornya, membicarakan masalah penyelenggaraan ibadah haji. Semua upaya kita lakukan, meski faktanya, sampai 23 Syawal 1442 H, Kerajaan Arab Saudi belum mengundang Pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M,” jelasnya.

"Ini bahkan tidak hanya Indonesia, tapi semua negara. Jadi sampai saat ini belum ada negara yang mendapat kuota, karena penandatanganan Nota Kesepahaman memang belum dilakukan," katanya menambahkan.

Khoirizi mengatakan, kondisi ini berdampak pada persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Sebab, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442H/2021M itu hingga hari ini belum juga dilakukan. Padahal, dengan kuota 5 persen dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari.

Demi melakukan kajian lebih matang sembari berharap pandemi segera berakhir, kata dia, Kemenag menunda hampir 10 hari untuk mengumumkan pembatalan. Tahun lalu, pembatalan diumumkan 10 Syawwal, sementara tahun ini dilakukan pada 22 Syawal.

“Dan kondisinya masih sama. Pandemi masih mengancam jiwa, Saudi juga tidak kunjung memberi kepastian. Kita lebih mengutamakan keselamatan jemaah dan memutuskan tidak memberangkatkan,” katanya.

Sebelumya, anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf menilai Menteri Agama Yaqut Cholil Coumas terlalu terburu-buru memutuskan untuk meniadakan pelaksanaan haji 1442 H/2021 M.

“Keputusan pemerintah yang tergesa-gesa membatalkan haji patut disayangkan. Sebenarnya tidak masalah jika yang terpaksa harus diberangkatkan hanya sepersekian persen dari total calon jemaah haji kita,” ujar Bukhori, Jumat, 4 Juni.