Pakar Sebut Persoalan Indomaret Bisa Diselesaikan Tanpa Ranah Hukum
Gerai Indomaret. (Foto: Dok. Indomarco Prismatama)

Bagikan:

JAKARTA - Demonstrasi buruh memboikot produk Indomaret dimulai per hari ini Kamis, 27 Mei. Aksi tersebut bermula dari demo menuntut THR 2020. Saat itu salah seorang karyawan bernama Anwar Bessy dipolisikan setelah aksi berujung anarkis dan perusakan kantor.

Selain THR 2021 yang disebut belum dibayarkan secara penuh, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menuntut Anwar Bessy dibebaskan meski dia dipolisikan lantaran tindak pidana aksi tuntutan THR 2020.

Persoalan tersebut dibawa ke persoalan lebih besar dan melibatkan banyak karyawan untuk melakukan unjuk rasa.

Menanggapi persoalan ini, Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menilai kasus tersebut sebetulnya tidak perlu dibawa ke kepolisian. Sebab, jika terjadi perusakan kantor seharusnya ada perundingan untuk mengganti kerugian.

Menurutnya, membawa masalah tersebut ke ranah hukum hanya akan menimbulkan luka bagi karyawan kepada perusahaan.

"Kalau dibawa ke polisi pasti ada luka, jadi pola hubungannya sudah tidak baik lagi, dan agak sulit untuk diperbaiki hubungan antara pengusaha dan buruh.  Kan rugi dua-duanya nanti. Buruhnya mogok, pengusahanya rugi," ujar Fickar kepada VOI, Kamis, 27 Mei.

"Misalnya, kalau tutup buruhnya juga rugi enggak bisa kerja lagi. Mestinya relasi antara perusahaan dengan karyawan tidak usah dibawa ke ranah hukum," sambungnya.

 

Fickar mengatakan, persoalan THR bisa meminta Kementerian Ketenagakerjaan ikut campur. Pasalnya, itu merupakan hak pekerja. Namun, tidak bisa dipungkiri keduanya sama-sama membutuhkan sehingga tidak perlu ada boikot dan pidana.

"Mestinya tadinya dijaga agar tidak masuk ke ranah hukum, apakah disuruh ganti rugi aja kerusakannya. Atau bagaimana organisasi buruh mengganti kerusakan, jadi tidak usah dibawa ke ranah hukum. Kalau sudah dibawa ke ranah hukum artinya gantinya itu orangnya dihukum, dan ini tidak mungkin juga dituntut lagi untuk diperbaiki. Tidak ada perdamaian," jelasnya.

 

"Tetapi, kalau soal hubungan kerjanya bisa berdamai. Artinya hubungannya ke depan apa-apa yang dipersengketakan uangnya misalnya THR itu kan menjadi hak normatif pegawai masuk ke peraturan perburuhan, bagian dari kewajiban pengusaha walaupun besarnya itu tidak ditentukan. Artinya berapapun kemampuan perusahaan itu sebetulnya harus diterima oleh pekerjanya," papar Fickar. 

 

Menurut Fickar, persoalan THR tidak perlu diperpanjang. Apalagi di masa pandemi, pegawai harusnya juga dapat memaklumi. 

 

"Karena pekerjanya tahu sendiri bagaimana perkembangan perusahaan, apalagi masa pandemi seperti ini penjualan pasti lebih rendah dibanding masa-masa sebelum pandemi. Itu keadaan yang mesti disadari oleh kedua belah pihak. Pengusaha meskipun sedikit ngasih lah ada uang THR nya, buruh juga mengerti keadaan perusahaan yang tidak sedang maju seperti normal, itu yang harusnya menjadi pengertian," katanya.

 

Terkait solusi, hukuman yang sudah didapat Anwar Bessy tidak mungkin dicabut kembali kecuali keringanan hukuman. Namun, masalah dengan karyawan lain yang memboikot karena belum dibayarkan THR itu bisa dirundingkan.

"Betul, jadi posisinya yang dipidana tidak bisa didamaikan tetapi yang berdemo bisa duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Yang dipidana juga meskipun itu kan perusakan sebetulnya bisa juga didamaikan sebenarnya dengan ada kesepakatan yang bisa meringankan hukumannya," kata Fickar