JAKARTA - Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) menjadi peringatan agar pemerintah jangan mengesampingkan urusan pendidikan di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 saat ini. Mengabaikannya merupakan kelalaian fatal yang dapat mengundang bencana. Perlu langkah sistematis di sektor pendidikan dalam menghadapi pandemi.
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, layanan pendidikan di Indonesia masih gagap menghadapi bencana. Hal itu terlihat dari pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara yang belum menjadi prioritas pada situasi darurat.
Ubaid mencontohkan, dari dana darurat penanggulangan COVID-19 sebesar Rp405 triliun, nyatanya tidak menyentuh sektor pendidikan sama sekali.
"Bahkan, dana pendidikan di Kemendikbud dan Kemenag disunat dan direalokasikan untuk sektor lain," kata Ubaid kepada wartawan. "Akibatnya, ancaman di sektor pendidikan kian nyata," tambahnya.
Padahal banyak ancaman mengintai dunia pendidikan kala pandemi. Misalnya saja ancaman putus sekolah. Ubaid bilang pandemi akan berdampak pada kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Sebab sekolah kita masih banyak yang mengambil pungutan.
Belum lagi, soal ancaman sekolah gulung tikar. Pasalnya tak sedikit jumlah sekolah swasta di Indonesia yang tutup. Mereka adalah komponen yang paling terdampak pandemi. Survei Kemendikbud 2020 mencatat, hampir 56 persen sekolah swasta di Indonesia terhimpit biaya operasional.
Selain itu masalah depresi massal juga mengancam banyak pihak sekolah. Mulai dari siswa, orang tua, guru, orang tua, kepala sekolah dan lainnya.
Persoalannya kita masih menggunakan kurikulum pendidikan normal. Akibatnya, anak-anak dibebani tugas banyak tiap hari, guru-guru kesulitan menyampaikan materi, belum lagi orang tua yang harus mendampingi anaknya tiap hari.
"Jika situasi ini dibiarkan depresi massal akan terjadi dan tubuh kian rentan terhadap virus," kata Ubaid.
Hal ini menunjukkan pembelajaran pendidikan di Indonesia masih sangat konvensional dan belum mampu menanfaatkan teknologi serta sumberdaya lokal sebagai proses pembelajaran.
BACA JUGA:
Kurikulum darurat
Untuk mengatasi masalah tersebut, Ubaid mendorong reformulasi kurikulum darurat. Pemerintah harus membuat pedoman dan kurikulum khusus kala pandemi. Hal ini penting agar belajar tidak membuat stres dan ada capaian target-target yang terukur. Misalnya dalam situasi normal sekolah ada target harian, saat darurat, targetnya bisa dirancang mingguan bahkan bulanan.
Untuk menunjang kurikulum darurat, tentunya perlu ada peningkatan kompetensi guru. "Ini menjadi momentum untuk mengupgrade kompetensi para guru untuk dapat melakukan proses-proses pembelajaran secara fleksibel, kreatif dan inovatif," jelas Ubaid.
Tentu untuk melaksanakan "tugas tambahan" itu anggaran pendidikan harus ditambah bukan sebaliknya. Sebab dana pendidikan juga disalurkan kepada para penerima manfaat yang terdampak COVID-19. Mirisnya lagi dana BOS saat ini masih banyak yang belum cair karena tersendat birokrasi.
Kemudian terakhir yang tak kalah penting adalah menegakkan prinsip pendidikan untuk semua. Layanan pendidikan harus mampu menjangkau semua kalangan dan bersifat inklusif, terutama kepada kelompok-kelompok yang selama ini tertinggal seperti perempuan, kelompok disabilitas, dan anak-anak di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).