Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah diminta lebih spesifik memberikan perhatian kepada nasib buruh tani ditengah pandemi COVID-19. Mereka dinilai paling terimbas dari wabah ini karena tidak punya posisi tawar. 

Demikian disampaikan Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan bertepatan dengan peringatan hari buruh internasional dikutip dari dpr.go.id, Jumat 1 Mei. 

"Selama ini mereka termarginalkan di negeri ini. Pendidikan mereka rata-rata masih rendah, tidak memiliki kemampuan berserikat seperti buruh pabrik lainnya dan tidak punya posisi tawar yang kuat untuk menuntut kenaikan upah," kata Johan.

Ia mengatakan, hidup buruh tani sekarang kian pelik. Ini karena daya beli mereka terus merosot, hidup mereka makin susah karena selalu berkutat dengan kemiskinan.

"Apalagi pada saat wabah virus ini merebak, mereka banyak yang sulit bekerja karena harus karantina diri agar tidak tertular," kata dia.

Dia mengungkap, saat ini upah nominal harian buruh tani nasional adalah sebesar Rp55.173 per hari. Sementara itu upah riil buruh tani mengalami penurunan sebesar 0,25 persen. 

"Perlu dipahami bahwa upah riil buruh tani ini adalah perbandingan antara upah nominal buruh tani  dengan indeks konsumsi rumah tangga pedesaan," terang Johan.

Sebagai pekerja di sektor informal, tambahnya, mereka tak mengenal istilah upah minimum regional (UMR). Hal ini berdampak upah buruh tani menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan upah pekerja kasar lainnya. Atas situasi ini, Johan mendorong pemerintah agar segera memberikan 'bantuan khusus untuk buruh tani'.

Adapun peringatan hari buruh tahun ini memang tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu ada aksi turun ke jalan. Hal itu karena ada wabah COVID-19 dan izin dari polisi.

Sementara Presiden Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal sebelumnya mengatakan, meski tidak ada aksi demonstrasi, buruh tetap punya tuntutan. Setidaknya ada tiga tuntutan yang akan disuarakan. 

Pertama, tetap menolak omnibus law dan meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk membuat klaster ketenagakerjaan yang baru. Tapi, pembuatan susunan klaster ketenagakerjaan harus melibatkan beberapa pihak. Termasuk didalamnya para buruh. Agar dalam membuat aturan tidak memberatkan salah satu pihak.

Kedua, menuntut pemerintah mengeluarkan kebijakan atau langkah-langkah yang dapat menghentikan pemecatan buruh di masa pandemi COVID-19. 

Caranya, kata dia, dengan mengaudit perusahaan yang berencana memecat karyawan atau buruh. Dengan melakukan hal ini, dianggap bisa mengetahui apakah perusahaan tersebut benar-benar mengalami kerugian atau terancam kebangkrutan.

Terakhir, meminta dan mendesak para perusahaan untuk meliburkan para buruh dan tetap memberikan upah. Sebab, dengan kondisi saat ini buruh merupakan pihak yang rentan terjangkit COVID-19.

"Hal ini dilakukan untuk memastikan agar buruh tidak terpapar virus Corona dan menjaga agat daya beli buruh dan masyarakat tetap terjaga," ungkap Said.

Ketiga tuntutan itu akan disuarakan atau dikampanyekan melalui media sosial. Sehingga dengan menggunakan cara tersebut bisa mengindari penyebaran COVID-19.

"Kampanye virtualnya ada koran perjuangan online, kita punya Instagram, punya Facebook, WhatsApp group dan Facebook. Jadi, semua media sosial kita pakai," kata Said.