JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai anggaran penanganan COVID-19 rawan dikorupsi. Ketua KPK Firli Bahuri bahkan menyebut ada empat pos dari anggaran sebesar Rp405 triliun dan Rp56,67 triliun yang rawan terjadi penyelewengan.
Penjabaran pos anggaran rawan dikorupsi ini, disampaikan Firli setelah dirinya mendengar permintaan dari Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP). Saat itu, Herman meminta agar KPK bisa berperan aktif dalam menjaga anggaran terkait penanganan COVID-19.
"KPK harus berperan aktif melakukan pengawasan. Seperti kita ketahui jumlah anggaran penanganan COVID-19 yang telah dianggarkan pemerintah sangat besar yaitu mencapai Rp405 triliun," kata Herman dalam rapat yang ditayangkan di akun YouTube DPR RI, Rabu, 29 April.
Herman menilai agar KPK tak hanya fokus pada penindakan saja. Menurutnya, pencegahan juga harus dilaksanakan untuk menjaga anggaran tersebut.
Politikus PDIP ini menegaskan agar hubungan antara KPK dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah diperkuat. Tujuannya, agar alokasi dan penggunaan anggaran penanganan Covid-19 bisa dimonitor sejak awal.
Setelah pemerintah pusat dan daerah, KPK diminta memperkuat hubungan dengan lembaga lainnya yang bisa membantu pemberantasan korupsi seperti LKPP, BPK, dan BPKP. Sebab, pemberantasan korupsi tak bisa dilaksanakan sendirian.
BACA JUGA:
Firli menanggapi, KPK sudah memetakan setidaknya ada empat pos yang rawan terjadi tindak pidana korupsi. Selain melakukan pemetaan, pada pos tersebut, lembaganya sudah berupaya melakukan pencegahan.
Adapun pos pertama yang rawan dikorupsi adalah pengadaan barang dan jasa. Kata dia, dalam pos ini, kolusi, mark up harga, kickback, konflik kepentingan dan kecurangan kerap terjadi terjadi.
Sebagai langkah antisipasi, KPK mengeluarkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 pada 2 April terkait Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Barang/Jasa Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 Terkait pencegahan korupsi.
Kemudian pos kedua yang rawan dikorupsi adalah yang berkaitan dengan filantropi atau sumbangan dari pihak ketiga. Untuk menghindari korupsi di pos kedua ini, kata Firli, lembaganya telah memberikan panduan lewat Surat KPK Nomor B/1939/GAH.00/01-10/04/2020.
Surat yang dikeluarkan pada 14 April ini berisi pedoman bagi gugus tugas di tingkat nasional atau provinsi, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. "Potensi kerawanan pada pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan, dan penyelewengan bantuan," kata Firli.
Pos rawan selanjutnya adalah yang berkaitan dengan refocusing dan realokasi anggaran COVID-19 untuk APBN dan APBD. KPK menilai, kerawanan di pos ini terdapat pada alokasi sumber dana dan belanja serta pemanfaatan pada daerah.
Sehingga koordinasi terhadap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam melaksanakan realokasi anggaran terus dilaksanakan kemudian dilanjutkan dengan monitoring. KPK nantinya juga akan memberikan rekomendasi jika hasil monitoring ditemukan hal yang tak wajar.
Pos rawan korupsi terakhir adalah bantuan sosial oleh pemerintah pusat dan daerah. "KPK mengidentifikasi titik rawan pada pendataan penerima (bantuan), klarifikasi, dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, serta pengawasan," jelas Firli.
Untuk mencegah terjadinya penyelewengan, dia mengatakan, KPK sudah berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Firli juga mengatakan, KPK akan mengawasi pendataan, klarifikasi data hingga distribusi bantuan agar bantuan sosial diterima oleh masyarakat.
"Kami buat satgas gabungan Deputi Pencegahan dan Penindakan," ungkapnya.
Firli menyebut saat ini pencegahan tersebut sudah terus menerus dilaksanakan. Sehingga, siapapun nantinya yang ketahuan melakukan korupsi anggaran penanganan bencana seperti bencana wabah COVID-19 bisa mendapatkan hukuman berat.
"Bagi yang melakukan korupsi dalam suasana bencana tidak ada pilihan lain. Kita menegakkan hukum, yaitu hukuman mati," tutupnya.