Kebocoran Data BPJS Kesehatan Jadi Alarm Finalisasi RUU PDP
ILUSTRASI/UNSPLASH

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi I DPR menyayangkan kasus kebocoran data pribadi penduduk Indonesia kembali terulang. Kali ini 279 juta data termasuk terkait BPJS Kesehatan diduga diperjualbelikan di forum internet.

"Sudah sangat sering terjadi kebocoran data pribadi di internet. Entah itu data pribadi di ranah swasta seperti data di Tokopedia, Bukalapak, Lazada, juga data di instansi publik seperti bocornya data pasien COVID-19, data Pemilu di KPU, dan dugaan yang terbaru data BPJS Kesehatan," ujar Sukamta, Jumat, 21 Mei.

Menurutnya, ketahanan siber negara sangat lemah meskipun BPJS selalu memelihara agar keamanan data peserta terjamin kerahasiaannya. Ditambah para hacker dan cracker cukup memiliki keahlian yang terus diasah dengan teknologi yang terus diupdate. 

Namun, lanjut dia, hal ini tentunya menjadi peringatan bagi negara lantaran kebocoran 279 juta data BPJS Kesehatan itu sudah sangat besar, bahkan jumlahnya hampir sama dengan jumlah total penduduk Indonesia. 

"Ini alarm bagi Indonesia," tegas legislator dapil Yogyakarta itu.

Wakil Ketua Fraksi PKS ini menegaskan, pemerintah harus segera menginvestigasi kasus ini agar menjadi clear apa sumber kebocoran tersebut dan apakah benar website BPJS Kesehatan yang berhasil dibobol atau sistem informasi lain yang diretas.

Selain itu, kata Sukamta, langkah-langkah mitigasi juga harus dilakukan agar data yang sudah terlanjur bocor tadi disetop penyebarannya dan dimusnahkan. Pemerintah, juga harus memiliki antisipasi efek dari bocornya data ini, apakah setelah ini akan ada 'serangan' lain di dunia maya yang bisa mengguncang ketahanan siber negara.

"Dan perlu ada langkah-langkah ke depannya agar hal seperti ini tidak terjadi lagi. Ini penting untuk digarisbawahi karena sepertinya akan ada lagi kasus-kasus kebocoran data yang lebih parah dari sebelumnya," kata Sukamta.

Salah satu langkah yang urgen untuk dilakukan, sambungnya, adalah penyelesaian pembahasan RUU Pelindungan Data Pribadi (PDP).

Sukamta mengakui, pembahasannya memang sedang stagnan karena ada perbedaan pandangan dalam hal penentuan bentuk otoritas Pelindungan data pribadi, apakah lembaga independen atau dikelola oleh Kementerian Kominfo. 

"Pembahasan sangat alot di situ," ungkapnya.

Namun, tambah Sukamta, seharusnya kasus dugaan kebocoran data BPJS Kesehatan ini menjadi tamparan bagi semua, bahwa bentuk otoritas yang paling tepat adalah lembaga independen. 

"Bagaimana jadinya jika badan publik yang karena kelalaiannya menyebabkan terjadinya kegagalan Pelindungan data pribadi. Aneh rasanya kemudian badan publik menghukum sesama badan publik. Bab ini harus segera ketemu kesepakatannya, agar upaya pelindungan data pribadi bisa segera memiliki payung hukum yang kuat terhadap badan private, masyarakat termasuk juga badan publik," papar Sukamta.