JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua tersangka kasus dugaan penerimaan gratifikasi di PT Asuransi Jasindo. Namun penahanan baru dilakukan terhadap seorang tersangka.
Dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini perkara ini adalah pemilik PT Ayodya Multi Sarana (AMS) Kiagus Emil Fahmy Cornain (KEFC) dan Solihah (SLH), mantan Direktur Keuangan dan Investasi PT Asuransi Jasindo (AJI) periode 2008-2016.
"Ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup maka KPK meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan pada bulan Oktober 2020 dengan menetapkan tersangka," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 20 Mei.
Firli menjelaskan perkara ini merupakan pengembangan penyidikan dengan tersangka Direktur Utama PT Asuransi Jasindo periode 2011-2016, Budi Tjahjono. Dalam proses penyidikan, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap 46 saksi.
Selanjutnya, untuk mengusut dugaan penerimaan gratifikasi ini, KPK melakukan penahanan terhadap Kiagus Emil. Penahanan dilakukan untuk 20 hari ke depan dimulai sejak 20 Mei hingga 8 Juni di Rutan KPK Pomdam Jaya Guntur.
"Sedangkan tersangka SLH hari ini telah dilakukan pemanggilan namun yang bersangkutan mengonfirmasi secara tertulis tidak bisa hadir karena alasan sakit," ungkapnya.
Sehingga, penyidik akan segera melakukan penjadwalan dan pemanggilan ulang. "KPK mengingatkan agar tersangka SLH kooperatif hadir memenuhi panggilan dimaksud," tegas Firli.
Kasus ini berawal dari keinginan Budi Tjahjanto yang saat itu menjabat sebagai Dirut PT Asuransi Jasindo menjadi leader dalam penutupan asuransi proyek dan aset BP Migas-KKKS Tahun 2009-2012. Kemudian, dengan bantuan Kiagus Emil, lobi dengan pejabat di BP Migas akhirnya terjadi.
BACA JUGA:
Budi terbukti merekayasa kegiatan agen dan pembayaran komisi yang diberikan kepada agen PT Asuransi Jasindo seolah-olah sebagai imbalan jasa kegiatan agen atas penutupan asuransi aset dan konstruksi pada BP Migas-KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) pada 2010-2014. Padahal penutupan tersebut tidak menggunakan jasa agen Jasindo.
Ada pun jumlah uang yang diterima dalam perkara ini mencapai Rp7,3 miliar di mana oleh Kiagus Emil diserahkan sebesar Rp6 miliar kepada Budi Tjahjanto.
"Dan sisanya Rp1,3 miliar dipergunakan untuk kepentingan KEFC," jelas Firli.
Perilaku lancung ini kembali dilakukan pada 2012-2014 oleh Budi Tjahjono. Saat itu, dia bermodus seolah-olah pengadaan didapatkan atas jasa agen asuransi Supomo Hidjazie (SH) dengan pembayaran komisi agen sejumlah 600 ribu dolar Amerika Serikat.
"Kemudian uang sejumlah 600 ribu dolar Amerika Serikat tersebut, diberikan secara bertahap oleh SH kepada Budi Tjahjono melalui SLH yang dipergunakan untuk keperluan pribadi Budi Tjahjono sekitar sejumlah 400 ribu dolar Amerika Serikat dan juga khusus bagi keperluan pribadi SLH sekitar sejumlah 200 ribu dolar Amerika Serikat," ungkap Firli.
Atas perbuatan tersebut kedua tersangka disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.