JAKARTA - Komisi Nasional (Komnas) Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) melaporkan mengenai KIPI baik terkait vaksin Sinovac atau AstraZeneca hingga kejadian meninggal dunia.
"Definisi serius itu meninggal atau menimbulkan keresahan masyarakat. Itu terminologi serius. Serius itu ada sesak napas, keram, mual, lemas, dada berdebar, pusing kepala, bengkak, gatal, kejang kemerahan, batuk gitu. Kalau dirawat jadi KIPI serius, menimbulkan keresahan masyarakat itu KIPI serius berakhir dengan sembuh baik dengan atau tanpa pengobatan," ujar Ketua Komnas KIPI Hindra Irawan Satari dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Kamis, 20 Mei.
Hindra memaparkan, untuk kasus pada vaksin Sinovac berjumlah 27 orang. Dari 27 orang tersebut, 10 orang karena terinfeksi COVID-19, 14 orang karena penyakit jantung dan pembuluh darah, 1 orang karena gangguan fungsi ginjal secara mendadak, 2 orang diabetes melitus dan hipertensi yang tidak terkontrol.
"Kami bisa buat diagnosa karena datanya lengkap, dirawat dirontgen, diperiksa lab, jadi dapat diagnosisnya. Dari ribuan tadi yang meninggal 27 dan semua ada diagnosisnya. Jadi semua tertangani," papar Hindra.
Sementara untuk kejadian meninggal setelah divaksin AstraZeneca, Hindra mengungkapkan penyebab adanya penyakit.
Di antaranya, pada kasus pertama, anak muda berumur 22 tahun diketahui bernama Trio Fauqi Firdaus. Menurut keterangan ibu korban, Trio bersama temannya melakukan vaksinasi di Gelora Bung Karno lalu merasa tidak enak badan.
Trio menolak untuk minum obat Paracetamol lantaran baru selesai divaksin, begitu pun untuk ke dokter. Temannya pun demikian namun keluhannya lebih ringan.
Setelah berbuka puasa dengan minum saja, demam Trio bertambah tinggi pada pukul 12 malam. Namun tidak dibawa ke RS, baru pagi harinya ke klinik. Namu, klinik tersebut tutup dan hanya dipijat saja.
"Dipijit kelihatan kejang. Saya kira itu tarikan napas terakhir kayaknya. Lalu dibawalah sama keluarga naik motor, di bawa ke RS tulisannya RSIA Rumah Sakit Ibu dan Anak, kebetulan oleh dokter liat jadi diagnosisnya dead on arrival," jelas Hindra Irawan.
Jadi menurut dia, sulit untuk menentukan penyebab kematiannya karena tidak ada data. Sebab korban tidak pernah diperiksa dokter, tidak ada Rontgen dan tidak ada CT scan kepala.
"Jadi sulit menyatakan ini terkait imunisasi. Namun juga sulit ini tidak terkait imunisasi karena AstraZeneca kata kuncinya blood clots, itu di susunan syaraf pusat di otak, di paru-paru, di perut atau di tungkai. Anak ini enggak ngeluh tentang tungkai, enggak sakit perut, enggak sesak jadi mungkin di otak. Tapi kejadian di Eropa dan UK setelah tiga hari rata-rata 14 hari. Jadi juga enggak cocok," jelasnya.
Komnas KIPI merekomendasikan autopsi dan orangtuanya. menyetujui.
"Jadi hal yang tragis sebetulnya. Anak itu dengan sadar sukarela datang untuk ke tempat vaksin. Kejadian ini kita tidak bisa ramal dan sulit. Mudah-mudahan autopsi memberikan jawaban," kata Hindra.
Kedua, pria berusia 57 tahun bekerja sebagai ojek online. Dia datang ke tempat pelayanan vaksin biasa, diwawancara namun tidak diperiksa. Keesokan harinya dia ke puskesmas di Jakarta mengeluh sesak.
Di puskesmas ia mengaku 1 hari sebelum divaksin sudah terasa sesak namun tidak menginformasikannya pada petugas. Setelah diperiksa di puskesmas dari pemeriksaan dan dirontgen diketahui ia menderita radang paru.
"Jadi bukan gara-gara vaksin tapi dia radang paru. Radang paru sebelum divaksin. Kemudian tidak terdeteksi sesak dapat pengobatan enggak bisa dirujuk, kemudian menolak tindakan tentu saja kalau daya tubuh kurang baik dia meninggal," terangnya.
BACA JUGA:
Ketiga, Brimob berumur 45 tahun meninggal di Ambon. Setelah disuntik vaksin AstraZeneca mengalami demam, batuk pilek kemudian makin memberat. Didapati ia terkonfirmasi positif COVID-19 setelah tiga hari.
"Jadi dia terpapar COVID sebelum divaksin. COVID-nya berat akhirnya meninggal karena COVID,” katanya.
Sementara untuk batch AstraZeneca yang ditarik, kata Hindra, itu bukan penyebab kematian. Tapi untuk menjamin masyarakat bahwa itu bukan penyebab dan agar tetap steril dan tidak ada toksin.
"Bukan batch ini menyebabkan kematian ya. Batch ini mau kita buktikan steril dan enggak ada toksin. Kita tes tapi BPOM menyample secara random vaksin-vaksin lain untuk menjamin itu steril dan tidak mengandung toksin," kata Hindra.