Melongok Masjid Berusia 200 Tahun di Tengah Moderenisasi Uni Emirat Arab
Masjid Alshoyoukh. (Sumber: Google Maps)

Bagikan:

JAKARTA - Jauh sebelum Uni Emirat Arab dibentuk dan menjadi salah satu negara moderen di dunia. Masjid ini sudah berdiri dan digunakan untuk beribadah oleh masyarakat di kawasan saat ini termasuk dalam Hisn Ave, Sharjah, Uni Emirat Arab.

Diyakini memiliki usia hampir 200 tahun, Masjid Alshoyoukh kaya akan sejarah dan kenangan. Masjid yang menjadi tempat interaksi warga, selain beribadah, sebelum adanya gedung pencakar langit di kota ketiga terbesar di Uni Emirat Arab ini. 

Kendati masjid yang lebih besar telah dibangun di lingkungan Al-Gharb, tetapi umat tetap datang ke sini untuk menunaikan salat. Imam masjid Yahia Mohammed mengatakan, masjid ini sangat berarti bagi warga setempat.  

Menurutnya, rasa memiliki masjid ini kian bertambah seiring bertambahnya waktu. Bahkan, menurutnya beberapa jamaah menikmati salat di halaman kecil masjid pada larut malam, beratapkan langit.

"Di Bulan Ramadan, para pekerja, pemilik bisnis dari bisnis di sekitar masjid dan penyewa dari gedung-gedung di sekitar sini datang untuk salat," ungkap Mohammed, imam masjid ini delapan tahun yang lalu, melansir The National News.

"Ini segalanya bagi saya secara spiritual dan hubungan di antara kami kuat. Anak-anak saya semua lahir di sini dan masjid ini juga sangat berarti bagi mereka sebelum mereka meninggalkan negara. Itu bagian dari hidup kita," sambung pria asal Mauritania ini.

dubai
Masjid Alshoyoukh. (Sumber: Google Maps)

Sementara itu, Ketua Sharjah Institute for Heritage Dr. Abdulaziz Al Musallam menuturkan, banyak yang telah berubah di bagian emirat ini sejak masjid pertama kali dibuka.

"Rumah syekh, tokoh lokal dan pedagang Sharjah, seperti rumah Syekh Majid bin Saqr, rumah Syekh Sultan bin Saqr, dan lainnya berada di daerah ini," papar Dr. Musallam.

Bangunan seluas 90 meter persegi ini mengalami beberapa kali perubahan di sepanjang waktu, sejak kali pertama masjid ini didirikan, tutur Dr. Musallam. 

"Pada tahap pertama daun pohon palem digunakan untuk membangun masjid. Belakangan, batu koral yang dibawa keluar dari laut menggantikan daun pohon palem di dinding, sedangkan batang kayu digunakan untuk menutupi atapnya,” terangnya.

Sebelum digunakan dalam konstruksi, batu-batu tersebut ditempatkan di lubang api dan dibiarkan selama 24 jam.

"Ini membantu dalam ekstraksi plester putih, yang juga digunakan dalam konstruksi setelah dicampur dengan jerami dan pasir," tukasnya.

Sementara itu, Sheikh Khalid bin Mohammed Al Qasimi merenovasi masjid ini pada 1960-an.

"Dikatakan ini terjadi pada Februari 1962 tetapi cerita lain mengatakan itu terjadi menjelang akhir 1960-an," tukas Dr. Musallam.

Diterangkang olehnya, halaman persegi panjang kecil di depan masjid awalnya dibangun untuk memungkinkan para pelancong beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan mereka.

Benteng Al Hisn berada tepat di sebelah kanan masjid, yang mempertahankan desain aslinya setelah renovasi atas perintah Sheikh Dr. Sultan bin Muhammad Al Qasimi.

Masjid yang dapat menampung hingga 125 orang ini dikelilingi oleh pertokoan, perusahaan kecil dan gedung-gedung bertingkat.

"Masjid ini masih menyambut jamaah setiap hari, kecuali pada salat Jumat," tandas Dr. Musallam.

Mengingat pandemi COVID-19, kapasitas masjid bersejarah ini pun disesuaikan dengan penerapan protokol kesehatan, guna mencegah penyebaran COVID-19.

Dengan penerapan jarak sosial, kapasitas masjid hanya diperbolehnya terisi sekitar 36 pria dapat berdoa pada waktu bersamaan, jauh berkurang dibandung kapasitas sebenarnya.