Kemarahan Pangdam Anak Buah Jadi Korban <i>Debt Collector</i>, Hingga Perusahaan <i>Leasing</i> Kena Ultimatum
Pangdam Jaya Mayjen Dudung Abdurachman (Foto via ANTARA/Livia Kristianti)

Bagikan:

JAKARTA - Panglima Kodam (Pangdam) Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman mengeluarkan beberapa ultimatum buntut dari kemarahannya lantaran Serda Nurhadi menjadi korban pengepungan kelompok debt collector.

Kemarahan Pangdam Jaya ditujukan kepada perusahaan pembiayaan atau leasing dan para debt collector. Dia meminta tidak ada lagi perusahaan yang menggunakan jasa debt collector. Alasannya, profesi yang dikenal dengan sebutan mata elang itu kerap menggunakan tindakan yang kurang elok.

"Saya harapkan kepada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan jasa-jasa debt collector sudah tidak melakukan kembali," ucap Mayjen Dudung kepada wartawan, Senin, 10 Mei.

Kalau perusahaan-perusahaan tetap memilih menggunakan jasa debt collector, haruslah menggunakan cara yang santun. Jika tidak, TNI-Polri bakal menindak semua hal yang berunsur premanisme.

"Dan saya ingatkan kembali jangan lakukan tindakan premanisme yang nantinya merugikan rakyat. Kodam Jaya dengan Polda Metro Jaya akan hadir secepat mungkin," tegas dia.

Tak lupa, Dudung juga mengimbau kepada para perusahaan untuk memberikan toleransi. Sebab, di massa pandemi semua sisi ekonomi merosot tajam.

"Kita pahami dengan kita terjangkit COVID-19 sudah banyak masyarakat yang kesulitan, ada yang di-PHK pekerjaan, terutama masalah ekonomi, masalah kesehatan," kata dia.

"Sudah 1 tahun lebih kita mengalami seperti ini. Oleh karenanya, pada pihak-pihak yang, perusahaan yang memberikan pinjaman agar toleransilah kepada masyarakat yang saat ini sedang kesulitan," sambung Dudung.

Selain itu, Dudung juga menegaskan tetap membawa kasus pengepungan Serda Nurhadi ke ranah hukum. Meski para debt collector berinisial YAKM, JAD, HHL, HEL, PA, GL, GYT, JT, AM, DS dan HRL sudah meminta maaf atas kesalahannya.

"Walaupun dia sudah minta maaf proses hukum tetap jalan. Proses hukum tetap jalan diserahkan ke polisi," ucap Mayjen Dudung.

Alasan proses hukum tetap dilakukan karena Indonesia merupakan negara hukum. Sehingga, semua persoalan harus diselesaikan secara hukum.

Terlebih, dari hasil pemeriksaan yang dilakukan Pomdam Jaya, Serda Nurhadi tak ada kaitannya dengan upaya menghalang-halangi sesuatu. Tindakannya itu murni untuk membantu masyarakat yang ingin ke rumah sakit.

"Setelah kita cek rupanya tidak ada kaitannya sama sekali karena betul-betul serda Nurhadi hanya ingin membantu untuk tidak terjadi kemacetan. Yang kedua untuk membantu agar masyarakat sedang kesulitan," kata Dudung

Sementara dari pihak kepolisian sudah menetapkan 11 debt collector itu sebagai tersangka.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan, penetapan tersangka berdasarkan gelar perkara. Mereka terbukti melakukan pelanggaran pidana dengan dua alat bukti.

"11 orang dan perannya masing-masing yang sekarang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan," ucap Yusri

Pelanggaran pidana yang dilakukan belasan debt collector ini karena melakukan percobaan perampasan. Terlebih, aksi mereka berunsur premanisme.

"Ini ada mobil lewat sini, kemudian dia bergerak menunggu surat kuasa, sistemnya kayak preman-preman di jalan," kata Yusri.

"Itu sudah melanggar pidana namanya. Perampasan, pencurian, itu bisa kita laporkan unsur-unsur itu," sambung Yusri

Selain itu, berdasarkan gelar perkara dan pemeriksaan, sambung Yusri, para debt collector itu ternyata ilegal. Meskipun mereka memiliki surat kuasa dari perusahaan.

Konteks ilegal dalam hal ini, para debt collector itu tidak memiliki keahlian dan klasifikasi tertentu. Sehingga, ketika menagih tunggakan terhadap debitur rawan terjadi aksi premanisme.

"Walaupun surat kuasa ada tapi tidak memiliki klasifikasi, keahlian, tidak memiliki dasar-dasar, SPP-nya tidak ada sama sekali, jadi itu tidak boleh. Itu ilegal," kata Yusri.

Sehingga, dalam perkara ini mereka dipersangkakan Pasal 335 ayat 1 KUHP dan pasal 365 KUHP juncto pasal 53 KUHP. Ancamannya 9 tahun penjara.