Febri Diansyah Kritik Tes Kontroversial untuk Jadi Pegawai KPK
Mantan Jubir KPK Febri Diansyah (Foto: Mahesa ARK/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sekitar 75 penyidik dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinyatakan tak memenuhi syarat ujian tes wawasan kebangsaan (TWK). Ujian yang dilakukan sebagai bentuk peralihan pegawai KPK untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN) itu menjadi polemik di masyarakat. 

Ironisnya, 75 pegawai tersebut merupakan Kasatgas yang merupakan tulang punggung dalam pengusutan kasus-kasus besar, tak terkecuali penyidik senior Novel Baswedan. Muncul dugaan, bahwa TWK hanya lah upaya upaya penjegalan terhadap pegawai berdedikasi yang masih 'Merah Putih'. Lantas, sesulit apakah tes pegawai KPK tersebut?

Mantan Juru bicara KPK Febri Diansyah menceritakan bagaimana ketika dirinya mengikuti seleksi menjadi Pegawai KPK. Dulu, kata dia, seleksi masuk KPK disebut Indonesia memanggil.

"Karena kami yang ikut seleksi merasa terpanggil untuk berbakti pada Indonesia," ujar Febri dalam akun Twitternya yang diposting pada 6 Mei.

Febri lulus Indonesia Memanggil 7 (IM-7) pada tahun 2013 bersama 159 pegawai lainnya. Seluruh tes sebelum tahap wawancara unit kerja dilakukan oleh konsultan Independen yang berpengalaman melakukan tes serupa untuk sejumlah lembaga negara/swasta.

Tahap 1, adalah seleksi administrasi. Dikatakan Febri, pada tahap ini ada beberapa pertanyaan awal tentang pondasi-pondasi Integritas dan motivasi masuk KPK.

Kemudian, tahap 2 dilakukan tes potensi yang terselenggara sehari penuh. "Saya agak kurang sehat saat itu, sehingga saat jawab smpat enggak sadar, agak meler," ungkap Febri.

"Kalau melihat tes masuk PNS, ada beberapa soal yang mirip. Tapi saya merasakan tesnya sangat berat hari itu. Selain menguji potensi IQ jg kesabaran dan konsistensi," sambungnya. 

Selanjutnya, tahap 3 adalah tes kompetensi sesuai bidang masing-masing dan pengetahuan umum tentang berbangsa dan bernegara, hukum dan pemberantasan korupsi. Serta tahap 4, yakni tes bahasa Inggris.

"Karena saya melamar sebagai penyelidik, ada juga pertanyaan tentang audit," katanya.

Pada tahap kompetensi, lanjut Febri, ada wawancara dengan konsultan. Dirinya merasakan hanya hal relevan yang digali. Bahkan ada pertanyaan mendalam tentang integritas dan independensi. Termasuk pertanyaan, apa yang akan anda lakukan jika tahu atasan salah?.

"Saya jawab, saya akan ingatkan dengan cara yang tepat," ungkapnya.

Febri juga ditanya tentang situasi apa yang paling sulit ketika harus memilih kepentingan pribadi dengan kepentingan pelaksanaan tugas. Hingga terkait kepemimpinan tim dan pengambilan keputusan.

Dia memahami, pertanyaan ini sangat penting karena terkait aspek kepemimpinan dan konflik kepentingan. Ada juga sesi Leaderless Group Discussion membahas tentang nilai-nilai dasar antikorupsi, seperti kejujuran dan bagaimana membangun prinsip antikorupsi dalam kehidupan masyarakat hingga bernegara.

"Proses yang dilalui cukup panjang dan saringan yang sangat ketat. Terakhir kami mengikuti tes kesehatan," jelasnya.

Proses pendaftaran Mei 2013. IM-7 baru mulai melakukan pendidikan pada November 2013. Setelah seluruh tahapan dilalui, yang lolos seleksi dipanggil wawancara dengan unit kerja.

Calon pegawai yang lolos tahap wawancara unit kerja ini berarti telah memenuhi kompetensi dasar. Tinggal kecocokan dengan pelaksanaan tugas unit masing-masing. Pada fase wawancara inilah digali sedemikian rupa kemampuan dan latar belakang.

"Sebelumnya KPK menerjunkan tim profiling masing-masing calon. Setelah lolos seluruh tahapan, seingat saya ada 160 orang. Kami memasuki tahapan yang paling “terkenal” di setiap angkatan KPK. Pendidikan dasar ini disebut induksi pegawai KPK," tutur Febri.

Angkatannya saat itu dididik dan ditempa di Pusat Pendidikan Kopassus di Batujajar selama 2 bulan. Beberapa angkatan sebelumnya ada yang di BAIS TNI dan Akpol.

"Kami diberikan berbagai materi fisik, disiplin, aspek kebangsaan dan cinta tanah air, hingga materi-materi intelijen dan hukum, lengkap," kata Febri.

"Jam 4 pagi bangun, olahraga, subuh jamaah, mandi, upacara, apel pagi, pbb, kelas dll," lanjut dia.

Sesi harian berakhir sampai apel malam sekitar jam 20.00 WIB atau 21.00 WIB. Kemudian dia dan angkatannya melakukan bersih-bersih dan bersiap istirahat. 

"Tapi ada kewajiban untuk jaga barak secara bergantian tiap jam sampai pagi. Oh ya, pegawai diberikan waktu untuk ibadah sesuai agama masing-masing, stiap hari dan juga hari minggu," sebutnya.

Selain di Batujajar, kata Febri, mereka juga dibawa ke tempat pelatihan hutan Kopassus di Situ Lembang. Dia ingat, rasanya airnya sangat dingin seperti air yang ditaruh di samping pintu kulkas semalaman. Di sana penempaan yang lebih keras dilakukan. Hampir setiap saat pelatih menekankan tentang kebangsaan.

"Oh ya, saya hampir tidak jadi ikut induksi saat itu, karena isteri sedang hamil tua anak ke-3. Tapi setelah saya bicara dengan keluarga, mereka merelakan karena yang kami pahami saat itu, menjadi pegawai KPK adalah panggilan hati untuk berkonstribusi dan mengabdi pada Indonesia,"

"Alhamdulillah, saat ada kabar isteri akan lahiran, saya diberikan cuti 2 hari untuk menemani proses kelahiran di Jakarta. Dengan catatan, setelah itu saya wajib kembali ke lokasi dan lapor ke pelatih," terang Febri.

Febri berterimakasih dan masih terus berkomunikasi dengan beberapa pelatih di Pusdikpassus yang dulu menggemblengnya pagi, siang dan malam.

"Yang saya ceritakan mungkin hanya bagian kecil. Pegawai-pegawai KPK di angkatan sebelumnya saya dengar melalui proses yang lebih berat. Tidak hanya itu, seleksi jabatan di KPK juga harus tes dengan tahapan seperti di atas. Itu yang selama ini terjadi di KPK," jelasnya.

"Karena itu saya enggak habis pikir sekarang beberapa pegawai senior yang berdedikasi dan kinerja bagus terancam disingkirkan hanya karena tes wawasan kebangsaan yang kontroversial ini," tandas Febri.