Paparkan Evaluasi PJJ, Nadiem Ungkap Masalah yang Dialami Pelajar Mulai dari Sinyal Hingga Depresi
Mendikbud Ristek Nadiem Makarim (DOK ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim mengatakan pihaknya sudah mengevaluasi pembelajaran jarak jauh selama pandemi COVID-19 berlangsung.

Hasilnya, ada sejumlah masalah, termasuk dalam aspek psikososial yang ditemukan di tengah pelajar di Tanah Air.

Hal ini disampaikan Nadiem dalam talkshow peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2021 yang diselenggarakan DPP PDI Perjuangan (PDIP).

Masalah pertama yang paling banyak ditemukan adalah konektivitas dan ketiadaan ponsel atau prasarana lainnya untuk menunjang PJJ. Padahal, dua hal ini menjadi bagian yang paling penting dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di luar sekolah.

"Sehingga, pelaksanaan PJJ pun di berbagai daerah sangat sulit dilakukan," kata Nadiem dalam acara yang ditayangkan di YouTube PDI Perjuangan, Rabu, 5 Mei.

Kedua, banyak anak yang mengalami kebosanan di rumah. Hal ini disebabkan karena banyaknya video conference yang dilakukan hingga menyebabkan anak-anak tak bisa berinteraksi secara langsung dengan teman mereka.

Hal ini kemudian menimbulkan perasaan kesepian pada siswa dan tak jarang membuat mereka merasa depresi. "Belum lagi ditambah berbagai permasalahan domestik, mulai dari stres yang disebabkan terlalu banyak berinteraksi di rumah dan kurang ke luar," ungkap Nadiem.

Tak hanya itu, pihaknya juga kerap mendapatkan laporan ada siswa yang mengalami kekerasan domestik.

Namun, dia menilai, hal semacam ini juga terjadi di berbagai belahan dunia. "Jadi bukan hanya di Indonesia. (Ini terjadi, red) juga (karena, red) level stres daripada orang tua yang dengan kesibukannya juga harus membimbing anaknya dalam proses pembelajaran jarak jauh," katanya.

Dari evaluasi yang ada, pemerintah lantas menilai pelaksanaan PJJ memang tidak optimal utamanya untuk wilayah pelosok dan terluar yang tak memiliki infrastruktur teknologi yang memadai.

"Kita tidak bisa menunggu lagi dan mengorbankan pembelajaran dan kesehatan mental daripada murid-murid kita," tegas Nadiem.

Atas alasan ini, pihaknya secara perlahan membuka sekolah tatap muka. Namun, dalam pelaksanaannya protokol kesehatan tetap menjadi yang hal yang terpenting.

"Jadinya masuk sekolah, tidak ada ekstrakurikuler, dan tidak ke kantin. Masuk sekolah dan langsung pulang. Dan setengah dari kapasitas kelasnya itu tidak bisa di satu ruangan, di saat yang sama. Di semua sekolah untuk melakukan tatap muka harus melakukan proses rotasi. Tentunya masker itu wajib. Fasilitas sanitasi juga wajib, checklist-nya juga sangat jelas gitu," jelasnya.

Selain itu, keputusan anak tetap bersekolah atau belajar jarak jauh juga ada di tangan orang tua. "Tetapi sekolah diwajibkan melaksankan tatap muka terbatas, memberikan opsi tatap muka terbatas kepada semua muridnya pada saat gurunya sudah divaksinasi," kata Nadiem.

Menanggapi pernyataan tersebut, anggota DPR RI Komisi X Andreas Hugo Pareira mengatakan pihaknya mengapresiasi pemerintah yang mengevaluasi dan memetakan permasalahan terkait pelaksanaan PJJ. 

"Akan tetapi, yang kita penting untuk garis bawahi adalah keputusan tetap ada pada orang tua murid dan siswa, apakah akan melakukan PJJ atau sekolah tatap muka," pungkasnya.