Bagikan:

JAKARTA - Pandemi virus corona atau COVID-19 yang saat ini terus mengalami eskalasi di Indonesia tidak hanya berpotensi mengakibatkan kontraksi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga peningkatan jumlah pengangguran dalam skala besar.

Beberapa pekan terakhir, gelombang Penghentian Hubungan Kerja (PHK) semakin merebak di sejumlah sektor, mulai dari sektor manufaktur hingga sektor jasa seperti pariwisata, transportasi, perdagangan, konstruksi, dan lain-lain. Tak hanya itu, ada pula sebagian perusahaan yang saat ini hanya mampu membayar separuh dari gaji karyawannya.

Center of Reform on Economics (CORE) memperkirakan, jika pandemi ini berlangsung lebih lama, akan potensi menyebabkan lonjakan jumlah pengangguran yang sangat tinggi dalam tahun ini.

Ekonom CORE Akhmad Akbar Susamto mengatakan, peningkatan jumlah pengangguran terbuka pada triwulan II 2020 dalam tiga skenario. Potensi tambahan jumlah pengangguran terbuka secara nasional mencapai 4,25 juta orang dengan skenario ringan, 6,68 juta orang dengan skenario sedang, dan bahkan hingga 9,35 juta orang dengan skenario berat.

"Tingkat pengangguran terbuka secara nasional pada triwulan II 2020 diperkirakan mencapai 8,2 persen dengan skenario ringan, 9,79 persen dengan skenario sedang dan 11,47 persen dengan skenario berat," katanya, melalui keterangan tertulis yang diterima VOI, di Jakarta, Rabu, 15 April.

Menurut Akhmad, penambahan jumlah pengangguran terbuka terjadi terutama di pulau Jawa, yaitu mencapai 3,4 juta orang dengan skenario ringan, 5,06 juta orang dengan skenario sedang dan 6,94 juta orang dengan skenario berat.

Penambahan jumlah pengangguran terbuka yang signifikan, bukan hanya disebabkan oleh perlambatan laju pertumbuhan ekonomi yang menurut proyeksi CORE Indonesia akan berkisar minus 2,00 persen hingga 2,00 persen pada tahun 2020. Namun, juga disebabkan oleh perubahan perilaku masyarakat terkait pandemi COVID-19, kebijakan pembatasan sosial, baik dalam skala kecil maupun skala besar.

Akhmad berujar, perhitungan penambahan jumlah pengangguran terbuka tersebut didasarkan pada sejumlah asumsi. Di antaranya situasi pandemi COVID-19 akan lebih buruk pada bulan Mei 2020 dibandingkan bulan April 2020. Kedua, dampak pandemi COVID-19 akan berbeda untuk lapangan usaha, status pekerjaan, dan wilayah, baik dilihat dari lokasi provinsi maupun lokasi kota dan desa.

Menurut Akhmad, lapangan usaha yang diasumsikan mengalami dampak paling parah adalah penyediaan akomodasi dan makan minum, transportasi dan pergudangan dan perdagangan, baik perdagangan besar maupun eceran. Sebaliknya, lapangan usaha yang diasumsikan mengalami dampak paling ringah adalah jasa kesehatan dan kegiatan sosial dan jasa administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib.

Kemudian, lanjut dia, status pekerjaan yang diasumsikan akan mengalami dampak paling parah adalah pekerja bebas atau pekerja lepas, berusaha sendiri yang pada umumnya berskala mikro, berusaha sendiri dengan dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar, dan pekerja keluarga atau tak dibayar.

Dilihat dari sisi wilayah, kata Akhmad, diasumsikan bahwa DKI Jakarta akan mengalami dampak paling parah, diikuti Jawa Barat dan provinsi-provinsi lain di pulau Jawa. Dampak pandemi COVID-19 diasumsikan akan lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan.

Akhmad menjelaskan, skenario ringan dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran COVID-19 akan semakin luas pada bulan Mei 2020, tetapi tidak sampai memburuk sehingga kebijakan PSBB hanya diterapkan di wilayah tertentu di pulau Jawa dan satu dua kota di luar pulau Jawa.

"Skenario sedang dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran COVID-19 lebih luas lagi dan kebijakan PSBB diberlakukan lebih luas di banyak wilayah di pulau Jawa dan beberapa kota di luar pulau Jawa," katanya.

Sementara itu, skenario berat dibangun dengan asumsi bahwa penyebaran COVID-19 tak terbendung lagi dan kebijakan PSBB diberlakukan secara luas baik di pulau Jawa maupun luar Jawa, dengan standar yang sangat ketat.

Akhmad mengatakan, pada Agustus 2019, Jumlah pengangguran terbuka tercatat 7,05 juta orang atau 5,28 persen dari total angkatan kerja. Ini belum termasuk yang setengah menganggur dengan jumlah 8,14 juta, dan pekerja paruh waktu 28,41 juta orang.

"Selain PHK pada sektor formal, dampak pandemi COVID-19 terhadap hilangnya mata pencaharian di sektor informal juga perlu lebih diwaspadai," katanya.

Pasalnya, kata Akhmad, daya tahan ekonomi para pekerja di sektor informal relatif rapuh, terutama yang bergantung pada penghasilan harian, mobilitas orang, dan aktivitas orang-orang yang bekerja di sektor formal.

Terlebih lagi jumlah pekerja di sektor informal di Indonesia lebih besar dibanding pekerja sektor formal, yakni mencapai 71,7 juta orang atau 56,7 persen dari total jumlah tenaga kerja. Mayoritas dari mereka bekerja pada usaha skala mikro 89 persen di tahun 2018.