Menilai Efektivitas Program Asimilasi dan Integarasi Bagi Narapidana di Masa Pandemi COVID-19
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Kebijakaan Kementerian Hukum dan HAM soal pembebasan 35 ribu narapidana melalui program asimilasi dan integarasi yang berkaitan dengan pencegahan penularan virus corona atau COVID-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan menuai respon negatif. Sebab, tak jarang narapidana yang dibebaskan kembali mengulangi perbuatan melawan hukum.

Salah satu contohnya adalah sepasang pencuri kendaraan bermotor, FS (17) dan SS (19), yang kembali beraksi di Jalan Garuda, Perumnas Mandala, Percut Sei Tuan, dan Jalan Veteran, Batang Kuis, Deli Serdang. Mereka ditangkap karena diduga mencuri sepeda motor beberapa hari usai dibebaskan dari Lapas Tanjung Gusta.

Kemudian, dua mantan narapidana Lapas Lamongan juga kembali ditangkap setelah kedapatan menjambret di Jalam Darmo, Surabaya. Padahal mereka baru dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi pada 3 April.

Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly mengatakan berdasarkan data yang ada, tercatat kurang lebih 10 warga binaan menjalani program asimilasi dan integrasi, namun, kembali terjerat hukum karena melalukan pelanggaran hukum.

"Ada yang kembali ditangkap karena kasus mencuri, mabuk dan kekerasan, serta kasus narkoba," ujar Yasonna, Senin, 13 April.

Untuk itu, Yasona menyebut, KemenkumHAM menyiapkan tempat khusus bagi mereka yang kedapatan kembali melakukan kejahatan. Sehingga, warga binaan tersebut akan melanjutkan masa tahanan yang sebelumnya. Kemudian, ketika selesai, akan dikembalikan kepada polisi untuk menjalani proses pidana selanjutnya.

"Jika berulah lagi, warga binaan dimasukkan ke straft cell (sel pengasingan). Saat selesai masa pidananya, diserahkan ke polisi untuk diproses tindak pidana yang baru," kata Yasonna.

Dengan jumlah perbandingan yang kecil antara warga binaan yang mengulangi pelanggaran dan tidak, Yasona menepis respon negatif sejumlah pihak terhadap kebijkaan yang dikeluarkannya. Menurutnya, hal ini justru menggambarkan keberhasilan dalam pengawasan pada kebijakan tersebut

"Ada yang bilang program ini gagal dan mengancam keamanan nasional. Saya rasa sebaliknya. Ini bukti koordinasi pengawasan berjalan baik," ungkapnya.

Pendapat berbeda justru diucapkan analis kebijakan publik Trubus Rahadiansyah. Menurutnya, kebijakan tersebut sama sekali tak ada manfaatnya. Meski saat ini warga binaan yang mengulangi perbuatannya masih terbilang sedikit, tak menutup kemungkinan jumlahnya akan terus bertambah seiring penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Kebijakan ini akan percuma jika untuk mencegah penularan COVID-19. Kemungkinan jumlah warga binaan yang berulah kembali akan bertambah karena kan ini mereka juga akan mengalami masalah ekonomi apalagi saat PSBB," ucap Trubus.

Seharusnya, kebijakan yang dikeluarkan Menteri Hukum dan HAM untuk mecegah penyebaran COVID-19 di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan dengan cara membatasi jam atau pola jenguk pihak keluarga. Sehingga, penyebaran virus pun dapat diminimalisir dan tidak akan menjangkit para warga binaan.

"Kemungkinan juga mereka bisa tertular virus dari luar tapi kalau menerapkan kebijakan pembatasan jenguk kan bisa mencegah karena pola penyebaran virus pun dengan metode droplet," tandas Trubus.